As seen on Jawa Pos/zetizen.com
Di
program pertukaran pelajar yang gue ikutin beberapa minggu lalu, gue bertemu
dengan banyak anak muda dari tujuh negara di Eropa. Ada satu orang yang menurut
gue sangat inspiratif, karena pilihannya untuk menjalani hidup yang tidak lazim
seperti kebanyakan anak muda seumurnya. Namanya Elias Escribano. Dia berasal
dari Spanyol dan berumur 25 tahun, hanya setahun lebih tua dari gue. Orang
berumur 25 tahun lainnya mungkin sedang disibukkan dengan deadline kantor ataupun deadline
tugas studi S2 mereka, tapi itu tidak berlaku bagi Elias. Di umur segitu
dia memilih untuk bekerja selama setahun mengumpulkan uang, karena dia
bercita-cita untuk keliling dunia, cita-cita yang kayaknya nggak mungkin.
Republik Ceko, tempat kita bertemu pertama kalinya, adalah negara kesekian dari
32 negara lainnya yang akan dia kunjungi. Yang lebih istimewa lagi dia
jalan-jalan pakai sepedanya yang dia beri nama Penelope. Sewaktu gue tanya
kenapa dia ngelakuin ini, dia cuma jawab, "I just feel like I need to.". Selain dia bercerita tentang
gimana dia bisa survive ngejalanin
ide gila ini, tentang perlengkapan apa aja yang dia bawa, tentang bagaimana dia
harus bermalam ketika lagi di tengah-tengah perjalanan, dia juga bertanya ke
gue seperti apa Indonesia, orang-orangnya dan gimana caranya dia bisa
menyebrang dari satu pulau ke pulau lainnya. Iya, Indonesia juga akan menjadi
destinasi dia dan gue pun nggak melewatkan kesempatan untuk bragging ke dia tentang kuliner dan
pemandangan alam negara gue yang sangat gue banggakan itu.
Dari
Elias gue juga banyak banget mendengar cerita tentang orang-orang di negeri
seberang sana yang belum pernah gue temui atau dengar sebelumnya. Mungkin
karena setiap dia sedang melancong ke negeri lain, dia selalu berusaha untuk
berinteraksi dengan penduduk lokal, despite
bahasa inggris dia atau bahasa inggris orang lokal tersebut yang limited. Rasa penasaran gue pun makin
membludak dan kepala gue jadi terisi dengan banyak pertanyaan. Maklum, gue
sangat tertarik dengan orang-orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa
berbeda dan yang memiliki budaya yang berbeda, sama seperti Elias. "Pernah nggak lo merasa nggak bisa relate dengan suatu kultur dan merasa sangat asing
di tempat tersebut?" tanya gue. Dia bilang, "Di beberapa tempat di bagian timur Eropa gue merasa orang-orangnya
dingin dan kurang ramah. Tapi walaupun begitu, di semua negara yang pernah gue
kunjungi gue selalu bertemu dengan orang-orang yang baik-baik banget, yang
ramah, despite stereotip yang
ada.". Elias ini tau banyak tentang kultur dan budaya. Ya, karena
hobinya jalan-jalan, ternyata dia ini lulusan antropologi. Nggak cuma itu, dia
juga tau banyak tentang isu-isu dan masalah politik yang lagi happening nggak cuma di negara dia.
Beberapa
kali ngobrol panjang lebar dengan dia membuat gue jadi banyak self-reflect tentang apa yang sudah gue
lakukan, apa yang sedang gue lakukan, dan apa yang akan gue lakukan. Butuh
keberanian super besar untuk memulai hal yang gila seperti ini. Meninggalkan
kehidupan normal, jalan-jalan, ketemu orang baru, dan menghadapi situasi yang
baru. It's scary I know. Keluar dari
zona nyaman dan menjalankan hidup yang berbeda dengan pattern yang ada itu menakutkan. Tapi melihat temen gue ini,
keliling dunia memang bisa menjadi life-changing
experience. Karena memang melangkahkan kaki ke luar "rumah" bisa
membuka pikiran kita. Bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang baru juga
bisa memberi insight yang baru, dan
yang pasti akan ada banyak life lesson
yang bisa kita dapatkan. Yang lebih penting adalah hal kayak gini bisa jadi wake up call buat kita, kalau hidup itu
bukan cuma tentang saya, saya, dan saya. Ternyata ada banyak permasalahan yang
terjadi di dunia, nggak cuma yang terjadi di hidup personal kita. Gue mengambil contoh sebelum gue
tinggal di Jerman. Ketika gue masih di Jakarta dulu, gue nggak pernah terpikir
kalau ternyata hidup sebagai seorang muslim di luar negeri itu bisa lebih sulit.
Gue nggak pernah terpikir kalau rasialisme itu adalah topik pembicaraan yang nyata
di sini. Berbeda banget dengan ketika dulu gue tinggal di lingkungan yang
homogen. From that I learned not to take
my religion for granted. Begitu juga ketika gue ngobrol dengan anak-anak
muda Eropa di pertukaran pelajar kemarin. Mereka dengan casual-nya membicarakan tentang peran Uni Eropa dan bagaimana
masing-masing negara mereka mengurusi permasalahan yang lagi hot sekarang ini, masalah gelombang
pengungsi. Lagi, ternyata ada banyak permasalahan yang sebenernya harus dijadikan perhatian juga, bukan cuma merhatiin hidup personal kita aja. Jika gue tidak memutuskan untuk merantau, mungkin gue
nggak akan pernah tau kalau hal tersebut eksis.
Selagi
masih muda menurut gue paling nggak sekali merantau itu perlu. Melihat dunia
itu perlu untuk membuang rasa ignoran dan menumbuhkan kepedulian, nggak cuma
untuk diri kita, tapi juga untuk orang lain. Di jaman sekarang hidup makin
sulit. Dunia ini kurang lebih seperti yang digambarkan di film Hunger Games. Nggak bisa lagi kita
berempati dengan sesama, karena yang harus diprioritaskan adalah diri kita. "Lo-lo, gue-gue.". That's how I feel about the modern world.
Gue sangat mengapresiasi kalau masih ada anak-anak muda seperti Elias ini, yang
masih mau untuk bergerak dan keluar dari tembok rumahnya. Melihat dengan mata
kepala sendiri seperti apa sebenernya kehidupan di sisi dunia yang lain, bukan
cuma melihatnya melalui media mainstream. Masih mau untuk bertukar pikiran
dengan orang lain yang berbeda bahasa ibu, supaya bisa melihat sesuatu bukan
dari kacamata sendiri. Pertanyaannya adalah apakah kita berani untuk bergerak
seperti dia?