Orang-orang bilang masa-masa SMA adalah masa paling indah. Gue setuju banget. Masa di mana kita nggak ada beban hidup. Drama kita hanya sebatas perseteruan sepele antar teman, drama naksir-naksiran kakak kelas, berantem-berantem labil cinta monyet. Tiap hari ke sekolah bukan pingin belajar, tapi pingin ketemu orang-orangnya. Pergi ke sekolah bukan pengen nuntut ilmu, tapi pingin main capsa di kursi belakang. It was the best time of my life.
Di sana gue nemuin beberapa orang terbaik yang pernah gue temuin yang sampe sekarang jadi temen terdekat gue. If I heard the word "best friend", I'll definitely think of them. Dulu mungkin gue merasa pertemanan gue dengan orang-orang ini biasa aja layaknya pertemanan setiap orang dengan kawan baiknya. Setelah jauh dari mereka gue baru sadar kalo pertemanan dengan mereka adalah sesuatu yang patut gue apresiasi setiap detik. Gue nggak tau segimana annoying dan high tempered nya gue dulu sampai gue beranjak dewasa. Gue nggak sadar segimana egois dan lebay nya gue dulu sampai gue menginjak umur 20, ninggalin masa remaja. Apalagi kalau kami udah cerita-cerita tentang jaman dulu dan mengingat-ngingat tingkah laku gue dulu tuh rasanya nggak percaya aja gue bisa se-nggak banget itu jadi orang. Bukan perubahan pada diri gue yang ingin gue bangga-banggain di sini. Despite kenggakbangetan gue tersebut, orang-orang ini mau stay sama gue. Itu yang bikin gue bersyukur sampai sekarang. Gue nggak pernah sekali pun denger dari mereka tercetus suatu kalimat yang memojokan gue, yang mengolok-ngolok sifat gue saat itu, yang complain akan ke kanak-kanakan dan keegoisan gue saat itu sampai sekarang. I'm grateful and proud at the same time. Gue bangga punya temen-temen yang ngerti betul apa itu pertemanan dan bersyukur karena gue bisa ada di hidup mereka, bisa nyicipin baiknya mereka.
Pernah nggak sih lo berada di suatu situasi di mana lo ngerasa nyaman banget. Nggak terpikir di benak lo untuk mengubah diri lo, memilah-milah kata-kata lo, dan menutupi keburukan lo, karena lo tau mereka nggak akan mengeluh tentang sifat lo, tentang perkataan lo, tentang diri lo. That's how I feel whenever I'm around them. Gue bisa cerita apapun, menumpahkan segala keluh kesah gue tanpa khawatir apakah gue udah terlalu banyak ngomong, terlalu rempong ngehadepin masalah, terlalu panikan. Karena gue tau mereka akan selalu mendengarkan dengan senang hati. Di deket mereka gue bisa jadi diri gue sendiri, bodo amat sama apa yang gue lakuin, karena gue tau mereka nerima gue apa adanya. Pun ada yang mereka nggak suka di diri gue, they'll tell me in a good way as a good friend and for my own good. Itu yang gue pelajari bertahun-tahun di masa remaja gue sampai sekarang. That's a kind of friendship I know, menerima teman baik lo apa adanya, selalu suportif, saling mendukung satu sama lain, saling nasehatin satu sama lain, dan selalu ada kapan pun, di situasi apapun. As simple as that.
Sampai akhirnya gue pindah ke Jerman. Gue masuk lingkungan baru, dengan muka-muka baru, ketemu sama personality baru. It hits me so hard, because some people here (those who I considered as good friends) have different understanding and different opinion on friendship. Di Jakarta dulu gue nggak pernah discanning dari atas sampe bawah sama sahabat gue (that's not what best friends do, right?), nggak pernah diliatin makeup apa yang gue pake, nggak pernah disaingin karena lebih ini dan lebih itu, nggak pernah diliat secara permukaan. But these people do. Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngafe-ngafe gaul dan jalan bareng tiap minggu, once lo udah jarang ketemu, you go back to square one. Pertemanan lo renggang. So it's like quantity over quality? Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa seneng-seneng sama orang ini, tapi ketika orang ini lagi di masa sulit, mereka nggak memberi moral support or even time. Buat mereka pertemanan adalah ketika orang ini bertingkah laku dan bersifat sesuai apa yang mereka mau. In other word, they don't accept you as who you are. Iya, selama berteman sama mereka gue harus selalu menutupi sifat asli gue, gue harus bertingkah bodoh dan goofy supaya bisa bikin mereka ketawa, gue harus berusaha keep up supaya mereka selalu menerima gue, dan gue selalu complain ke diri gue, "What are you doing, Git?!". Hanya supaya gue bisa diterima, gue rela usaha segitunya. Why did I do that?
Karena gue tau gue bukan orang yang menyenangkan, gue bukan cewek yang suka diajak jalan tiap minggu ngafe-ngafe buang-buang uang, gue bukan cewek rempong, gue bukan cewek yang suka haha-hihi sleepover nggak jelas, gue bukan cewek yang suka selfie-selfie pas lagi nongkrong bareng, gue bukan cewek yang suka ootd bareng. I am not that kind of person. Menutupi sifat gue yang dingin, yang serius, yang butuh waktu sendiri, yang lebih mengedepankan quantity over quality, yang lebih melihat esensi, yang selalu punya strong view dan perspective, yang kaku, yang pemikir, yang nggak tau caranya bersenang-senang, adalah hal yang sulit. Terlalu sulit, at least buat gue. Dan gue rela ngelakuin itu semua supaya gue bisa diterima. Supaya diri gue yang bersudut ini bisa muat ke lingkaran mereka. I struggled so much selama gue di Jerman. I keep blaming myself, "Kenapa lo nggak bisa play along well in this society?". Dan satu hal lagi, gue benci sama persaingan. Tapi di sini hawa rivalry terlalu kuat, even for the smallest thing. Gue masih inget gimana gue selalu diolok-olok karena gue selalu dapet likes over 100 di Instagram, padahal foto yang gue upload juga nggak jelas. I smell strong sense of envy there, like really strong. Semua hal itu membuat kesulitan yang gue rasain jadi makin sulit rasanya. Semua pet peeves gue, semua hal yang dari dulu selalu jadi yang paling gue benci, dateng ke gue tiap hari, gue lihat tiap hari, gue temuin tiap hari. Rasanya kayak lo melihat orang di depan lo selalu KKN, padahal lo adalah orang yang idealis. Setidakmenyenangkan itu.
Gue masih inget gimana waktu gue sakit dulu, orang-orang yang gue anggap dekat malah nggak jenguk gue. Selama 44 hari di isolasi, mereka cuma jenguk gue sekali. They have know idea gimana stressnya gue dulu terkapar di rumah sakit nggak bisa kuliah sampe-sampe gue harus mundur satu semester. They didn't even care. Kalo mau huznudzon mungkin mereka sibuk nggak ada waktu. Tapi mereka nggak jenguk lagi karena mereka takut ketularan. Yep, I'm still trying my best to think positive here. Gue juga masih inget waktu gue lagi stress banget sama kuliah yang nyebabin sekujur punggung gue eksim semua. Saat itu selama sebulan gue cuma tidur 1-3 jam dan gue masih harus ngurusin acara mereka. Kita waktu itu jadi panitia suatu acara. At first I said no, karena gue tau gua akan sibuk. But she kept asking me to help her. Gue pikir, "Yaudahlah temen gue lagi minta dibantu masa gue nggak bantuin?". They didn't even care how I was back then even when I already told them my situation. All they cared about was me doing the job done. Ketika gue bener-bener nggak bisa nge-handle job desk gue, gue malah didepak dari kepanitian karena takut atmosfernya jadi kacau gara-gara gue. Gue masih inget betul gimana gue ngerasa disampahinnya saat itu, disampahin sama temen gue sendiri. Gimana marahnya dan nggak percayanya gue sama apa yang udah dilakuin sama mereka. Gue juga masih inget gimana setengah matinya gue mencoba untuk menahan amarah gue, tapi gue takut akan mendapat judgment yang lebih buruk lagi. Dan gue akan selalu inget gimana kecewanya gue sama mereka yang juga ninggalin gue, bersama dengan orang-orang yang menyudutkan gue ketika gue perlahan-lahan mengubah diri gue. And I don't wanna be my old self again, who couldn't hold anger. Akhirnya gue minta maaf, minta maaf, dan minta maaf. Tiga kali gue minta maaf, tapi itu semua tetep nggak bisa nge-restore friendship gue sama mereka. Mereka nggak mau ketemu gue lagi, mereka menghindar. We're now strangers again.
Berbulan-bulan ini semua membebani otak gue yang kecil ini. Berbulan-bulan gue simpan kekecewaan gue. They don't know how hard I've tried to be a person they like, to be a friend they wanna have. Berbulan-bulan gue menyayangkan mereka yang nggak ngerti arti pertemanan, they who don't have pure heart, yang sebenernya ada apa-apa ke gue tapi act like nothing happened di depan orang lain, bahkan di depan cowo gue. Berbulan-bulan gue kesel ke diri gue sendiri, kenapa gue nggak bisa menerima mereka yang seperti itu? kenapa nggak gue yang mencoba mengerti mereka?, dan berbulan-bulan juga gue mempertanyakan ke diri gue "Kenapa gue harus marah?".
Salah satu teman gue kemudian mengingatkan gue sama satu cerita tentang sahabat yang hidup di jaman Rasulullah:
Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat.
Dahulu
di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa
berkumpul bermusyawarah bersama para Shahabatnya radhiallaahu 'anhum. Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.
Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga.". Para Shahabat r.hum pun saling bertatapan. Di sana ada Abu Bakar Ash
Shiddiqradhiallaahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallaahu 'anhu, Umar bin
Khattabradhiallaahu 'anhu, dan beberapa Shahabat lainnya.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana. Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.
Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Shahabatnya, Beliau SAW pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga.". Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Shahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa dengan pemuda sederhana itu?
Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa, bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Shahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallaahu 'anhupun merasa penasaran amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?
Maka Mu'adzradhiallaahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang
berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa
malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan
mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.
Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh. Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.
Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut. Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.
Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.
Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu, "Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga. Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau
tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau
lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"
"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."
"Amalan apakah itu?"
"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."
"Subhanallah. Kemudian apa?"
"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."
"Subhanallah, lalu kemudian?"
"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun. Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus."
"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga. Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."
Mungkin gue butuh waktu. Gue butuh waktu lama buat maafin mereka, just because I don't have that huge of imaan in me. But what I know is, if I forgive them, I do it for Allah, not for them.
Adalah Rasulullah saw
pernah berkata kepada Ali ra, "Hai Ali, tahukah kamu laki-laki yg
mendahului kamu masuk surga?" Jawab Ali, "Allah dan Rasululnya lebih
tahu," Rasulullah melanjutkan, "Si Fulan..." (maaf, lupa nama sahabat yg
dimaksud) Ali heran krn laki-laki yg dimaksud, dr segi ibadah pd
zamannya biasa-biasa saja. Tapi krn Rasulullah telah menyebut 'si Fulan'
maka Ali ra ingin tahu, gerangan amalan apakah yg dilakukannya sehingga
dia termasuk ahli syurga.
Ali ra datang bertandang ke rumah yg bersangkutan dan minta izin
bermalam tiga malam (aturan bertamu, jangan lama-lama he he he...).
Ternyata, dlm tiga malam itu, Ali ra tidak melihat 'si Fulan' shalat
tahajud atau membaca alquran, dst...
Akhirnya Ali ra penasaran dan menceritakan pernyataan Rasulullah SAW. si
Fulan pun heran dan kemudian berkata: "Mungkin perbuatan ini, tapi masa
iya...saya selalu memaafkan orang yg secara sadar atau tidak menyakiti
saya setiap malam sebelum saya tidur..."
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/danangarmady.kompassiana.com/indahnya-memberi-dan-meminta-maaf_55087c6ba33311b96d2e3942
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/danangarmady.kompassiana.com/indahnya-memberi-dan-meminta-maaf_55087c6ba33311b96d2e3942
iseng buka blognya kak, dan ternyata udah ada tulisan baru kak... yaaay!
ReplyDeletegini bukan sih, rasanya kayak... berusaha ngerti orang, dan juga berharap orang ngerti. But.. malah kecewa kadang. tapi aku mikir, aku gak punya kendali tentang orang lain, mereka bukan diriku jadi ya mungkin wajar mereka bisa bikin kecewa. jadi ada baiknya juga sih kecewa tentang orang lain, dibanding dikecewakan diri sendiri.... jadi ya kerasanya lebih ikhlas aja gitu, walaupun kadang kumat juga...he~
dan kayaknya kalau inget sama sahabat-sahabat yang dari dulu stay itu emang bener patut disyukuri, mengingat gak semua orang semurni itu kalau nginget masa-masa kelam dan indah...haha
keep happy kak gits:)
Hey git gue slalu terinspirasi sm tulisan lo yg jujur! Haha kalo crita gue agak beda yah stlah gue pindah ke bandung kok salah satu klmpk tmn gue yg biasa gue dkt dijakarta ini jd berubah? Hmm mirip2 sm apa yg lo omongin. Dulu gue mungkin cocok ama mereka tp stlh gue grow up ditempat yg berbeda (beda sma, beda kota saat kuliah) gue jd pribadi agak sedikit beda (melihat ketidak cocokan pertemanan gue dengan mereka)bahkan terakhir kali gue pulang ke jakarta gue sgt sakit hati saat gue jalan sm mereka. Sesakit hati itu sampe dlm hati gue bilang 'gue bener2buang2waktu gue ama mereka bisa2nya yah hrsnya gue gunain waktu gue buat nugas aja mereka gk tau apa sebanyak apa tugas gue dan sebeban apa gue ampe bawa tugas gue' ya smcm itu. Tp kemudian gue ingat bahwa kenyataannya memang segala hal gk ada yg abadi. Mungkin gaya hdp mereka gk separah seperti klmpk tmn2lo di jerman tp somehow memang sudah beda aja. Gue jd males balik ke jakarta krn kl gue pulang mungkin gue ditagihin buat jalan pdhl gue udh sesakit hati itu tearkhir jalan sm mereka krn ada satu dan lain hal yg mereka lakuin ke gua saat jalan tersebut. Kemudian gue inget gk baik buat benci sm orng buat dendam apalg mereka tmn lo yg pasti pernah ngelakuin hal baik ke lo walaupun sekecil apapun. Jd skrng gue mencoba tabah ajaa intensitas gue ketemu mereka jg gk akan sesering. Mungkin ini cara Tuhan ngajarin umatnya git:) gue gk tau ampe kapan lo hrs bersikap sabar tp kalo memang lo tdk cocok dgn mereka tinggalin aja gpp lo akan ttp menjadi seorang gita tanpa mereka... Hmm memang sulit sih apalg lo dinegri orng butuh 'keluarga' yg merangkul lo di negri tersebut.. Tp ggp git selagi lo jalanin dengan ikhlas dan tabah pasti Allah dengar doa2 lo dan menjawabnya diwaktu yg tepa. Yg terbaik adalah jgn lo sakitin mereka biarin aja mereka mau ngapa2in lo:) itu bukan berarti lo gk bs ngapa2in tp lo tau cmn Allah yg bs balas perbuatat umatnya baik itu sebuah kebaikan ataupun kejahatan, toh kita hanya manusia biasa ,tmpt bnyk dosa. All i can say is semangat git! Mungkin terkesan klise tp ini bener2 gue semangatin. Smoga hari2 lo di jerman ttp menyenangkan yah walaupun mau ada orng yg ngerecokin hdp lo kyk gmn pun.
ReplyDeleteCerita kamu mirip banget sama cerita yg aku alamin sekarang. Ketika temen deket lo, perlahan jadi stranger. Dan ketika rasa peduli berubah jadi sekedar basa basi
DeleteMasyaAllah kak, aku beberapa bulan ke belakang juga mengalami hal yang sama. Semua yang aku anggep temen deket ternyata ga anggep aku temen deket dan malah membuat aku jadi orang yang paling bersalah setelah bertahun-tahun seneng bareng. Dan aku pun sama kyk kakak, diselametin sama Agama. Akhirnya aku jadi lebih deket sama Islam. Aku kira aku udah hancur pada saat itu. Tapi pas baca tulisan kakak ini aku jadi ga bisa bayangin gimana sulitnya proses kakak dibandingin aku.
ReplyDeleteKakak jauh ribuan km dari tanah air, jauh dari keluarga, beban akademik berat banget. Tetap deketin diri sama Allah ya kak. Kita emang diketemuin sama orang yang salah dulu, biar ga salah pilih. Sekarang aku malah mencoba memaafkan mereka dengan berterima kasih karna menghantarkan aku ke fase ini. Ibaratnya mereka adalah kayu bakar yang nyalain api di iman aku. hehe...
Yang kuat ya kak, kalo udah bisa lewatin ini pasti kakak lebih hebat lagi. Fokus sama yang penting aja kak. The problem is not the end, but it's the beginning of a different life :D
"Allah wrecks friendships before they wreck you." Alhamdulillah for the people in my life right now & for the people that are no longer in it.
Nice post, Kak. Tulisannya apa adanya dan ngalir banget ceritanya. Be patient, Kak Gita. Semoga kegiatan dan perkuliahan kakak senantiasa dilancarkan oleh-Nya :)
ReplyDeleteIt is like my story too,i have problem like you, but i try to be patient and waiting good think surely come ���� thankyou for your sharing story you already inspired us and it can make as to be a better person. Succes for you
ReplyDeletebuka youtube dan nemu akun kak Gita lalu berakhir disini. postingan pertama yg muncul dan langsung feel the same as you. Serupa tapi tak sama. Keep up the spirit of imaan kak Git! semuanya akan terasa mudah karna kita punya Allah. Merantau dan hidup sendiri memang bener2 bikin kita jadi pribadi yg kuat. Insyaallah.
ReplyDeletebuka youtube dan nemu akun kak Gita lalu berakhir disini. postingan pertama yg muncul dan langsung feel the same as you. Serupa tapi tak sama. Keep up the spirit of imaan kak Git! semuanya akan terasa mudah karna kita punya Allah. Merantau dan hidup sendiri memang bener2 bikin kita jadi pribadi yg kuat. Insyaallah.
ReplyDeletesemangat terus berislam nya git. -from a fan- :)
ReplyDeleteSuka sama tulisannya Kak Gita. Selalu jujur dan apa adanya. Btw Kak Gita blog sama blognya rapi banget sih XD
ReplyDeleteNiceeeeeee one kak! This hit me a lott
ReplyDeleteKalo bisa postnya disisipin dakwah kaya gini kaak, yaa biar aku bacanya smbl nyelam minum air gituu :D
You tell me the other side kalo kita kuliah di luar kaakk. Thankyou so much, you've been inspired me, yang mau lulus sma ππ
ReplyDeleteAh...gita savitri...
ReplyDeleteAku kira kamu anak umuran belasan tahun kayak aku, ternyata bukan yah malah lebih dewasa dengan pengalaman yg banyak banget warnanya. So different 6 y.o waw, it's unbelievable gurl π but, honestly i really like what you've posted.this feeling cannot out of my head.so, hurt.
Jangan lepas dari postingan yg ada di jerman yah, di berlin kan? So interested buat pergi ke jerman...ehiya ngambil apa disana?
Sukses selalu yaaa ngefens deh sama (kak) gita *gaberani manggil kakak mukanya masih unyu banget kek kucing hahaha.
oh iyaaa, request dong kak gita gimana sih biar bisa jadi mahasiswi indonesia yg keluar negeri juga buat nuntut ilmu...soo ya kak gita di tunggu πsemangat kuliiiaaaahhh, semangat apapun yg bikin kak gita bahagia dan gak berhenti untuk memotivasi pelajar indonesiaaa yeeaaayyyyy πͺπͺπͺ
Gw juga INTJ. Menemukan karakter yg sama pada diri loe, gw jadi berasa ada temen.
ReplyDeleteSemoga selalu diberkahi Allah.
Semoga ilmu loe bisa bermanfaat dan bisa jadi hamba Allah yang takwa.
Happy selalu Git!!
Git gue juga pernah punya temen kayak yg lo bilang. Tapi mereka sebenarnya nggk punya masalah apapun sama gue. Kita temenan lumayan deket. Tapi seperti lo, gue nggak pernah bisa jadi diri gue sendiri ketika bareng mereka. Sama seperti lo, gue bukan cewek yg suka ngumpul bareng ketawa ketiwi doang tanpa kepentingan, sama kayak lo gue juga orang yg lebih mentingin esensi. Gue mau tanya sama lo deh git, temen yg kayak gitu harus gue gimanain? Gue harus jaga jarak sama mereka atau gue yang perlu berubah untuk bisa nyatu sama mereka? Gue bukannya nggk mau jadi diri gue sendiri, tapi gue juga butuh temen untuk kehidupan sosial gue. Hopefully you'll answer my question git. Thanks
ReplyDeleteHey, I really like your blog.
ReplyDeleteJarang2 gue nemu blog yang kaya begini. I've been reading your blogpost for some time and glad that I'm not the only one overthinking just about everything. This post is especially relatable.
I had been in the same situation, had exactly the same thought. Trying hard to fit in, yet the result doesn't worth the effort--that one day, I had this thought: I decided to just give up socialising and focused on other things that could provide better Return of Investment. The social game is simply too hard to play, and even with the resources I have, the chance of winning is not significant. So I thought if social game isn't promising then maybe I can try play well in other game. Life is a game, after all. With time as the most expensive resource you can spend (but never get back). It's hard to see in advance whether our time investment in other people would be well paid off. The best bet is to invest little so you lose less. Or spend a lot, with the right person. The tricky part is to find the 'right' one. And still, there is no guarantee that the person would last your lifetime.
Anyway, gue gatau kenapa rasanya setelah baca blog lo, gue jadi ikutan pengen nulis. Selama ini gue sering takut kalo gue jujur menunjukkan diri gue yang sesungguhnya baik di dunia nyata maupun maya, ga ada orang yang bakal mau temenan ama gue. Ga ada orang yang suka ama gue, dan nerima gue apa adanya. But your writing is so inspiring.
Thank you, and keep writing!
Kak Gita, tulisan ini hacep banget, sama persis dengan apa yang saya alamin. Please kak bikin buku dong, rangkum semua tulisan kak Gita. Bikin buku kaya From Moskow With Love atau apapun lah judulnya. Terus nulis yaa kak Gita .. Beri kami inspirasi.
ReplyDeleteMasyaAllah.. inspiring bgt kak Git :")) ini udah jam 00.15,gue masih scrool dan nemu postingan ini, dan pada akhirnya gue nangis bacanya :" .
ReplyDeletesemoga kita selalu diberi kemudahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya. Amiin.. love you kak Git ! saranghae :)
This blog apa yg gua rasain bgt di dunia perkuliah. Ngerantau, not much have friend, di kelas ngerasa ya gitulah, ama temen - temennya juga gitulah feel uncomfortable lah. Thanks for your remembering and inspiration.
ReplyDeleteThis blog apa yg gua rasain bgt di dunia perkuliah. Ngerantau, not much have friend, di kelas ngerasa ya gitulah, ama temen - temennya juga gitulah feel uncomfortable lah. Thanks for your remembering and inspiration.
ReplyDeleteThis blog apa yg gua rasain bgt di dunia perkuliah. Ngerantau, not much have friend, di kelas ngerasa ya gitulah, ama temen - temennya juga gitulah feel uncomfortable lah. Thanks for your remembering and inspiration.
ReplyDeleteketika kita dijauhin sama temen yang awalnya deket banget sama kita, atau makin kesini kita jadi ngerasa tidak cocok dengan teman dekat kita. itu bagian dari "seleksi alam" dari sebuah pertemanan. Allah tau yang terbaik buat hambanya, Allah tau mana teman yang baik buat hambanya.
ReplyDeletecerita hampir sama! kak btw makasih krn tulisan ini setidaknya gua ngerasa gua ga sendiri dan gua bisa lebih bersyukur bahwa ada yg masalahnya lebih sulit dibanding gua. dan satu yg gua inget bahwa ujian ini untuk naik tingkat, untuk menjadi lebih hebat lagi
ReplyDeleteI just came across your YouTube channel last night. Well, actually I know your channel long time ago from Subhi Taha's channel. At first, I thought you just the same as other 'hijaber' girl. But, clearly not. I was too skeptical, sorry. And I ended up here reading some of your posts and I'm surprised. Most of your writings, I can relate to it. I'm an INFP. Although I just found out recently that MBTI test is not valid. But whatever, still in the Introversion zone anyway. What I'm trying to say is, I'm glad that I found your blog and your channel. I'm not alone. I found lots of introverts here, OMG. Keep up the good work Gita, spread the good! And keep bettering ourselves.
ReplyDeleteTengkyu banget kak git udah bikin tulisan ini. Karna aku jugak ada di posisi ini sekarang. Punya temen yg aku anggap paling deket tapi makin kesini rasanya cumak dapet rasa kecewa. Dan itu terus menerus ganggu fikiranku. Apa aku harus tetep intens kaya dulu sama mereka atau aku perlahan harus menjauh? Tapi dengan tulisan kakak ini cukup menyadarkan ku aku harus gimana :')
ReplyDeleteSekarang yg gua bingungin itu, ketika gua udh baik. Setiap mereka ngomongin gua ga marah dan gua cmn ketawa, mereka mencela fisik gua jga ga marah.tpi herannya rasanya tuh mereka ga pernah puas, mereka selalu mencari cari kesalahan gua. Apa yg salah dengan gua? Gua cmn siswa smk biasa, pinter? Biasa aja, cantik? Gua kalah saing sama mereka, tpi masih aja ga disenengin.tpi klo lgi pada susah minta bantuan pasti dibantuin. Klo udh ga butuh bantuan kembali lgi kesifat aslinya. Heran saya tuh kenapa mereka begbegi
ReplyDelete