by Gita Savitri Devi

12/14/2016

Being Muslim in a Non Muslim Country

Selain tentang bagaimana cara kuliah di Jerman, pertanyaan lain yang sering gue dapatkan adalah bagaimana hidup sebagai muslim di negara yang sekuler ini. As simple as it sounds menjadi muslim di Jerman itu biasa-biasa aja. Mungkin dengan banyaknya berita di media mengenai bagaimana muslim sebagai minoritas diperlakukan wajar aja kalau banyak juga dari kalian yang beranggapan semua non muslim di luar negeri itu rasis dan diskriminatif. Nyatanya perlakuan tidak enak itu hanyalah segelintir. Kebanyakan "bule" ternyata baik, biasa-biasa aja kalau liat orang pake kerudung, dan biasa aja kalau liat orang sholat ataupun puasa. 

Kehidupan berislam di sini jelas beda dengan di Indonesia. Di mana sangat gampang buat beribadah. Adzan selalu berkumandang di berbagai sudut kota, mau makan pun nggak usah mikir. Begitu juga ketika Idul Fitri dan Idul Adha, udah pasti bisa ikutan sholat Ied karena toh hari itu semua diliburkan. Bedanya di sini masjid nggak sebanyak di Indonesia, tapi bukan berarti nggak ada. Kalau pun lagi nggak nemu mesjid sholat di suatu sudut taman atau halaman gedung juga bisa. Mau makan juga gampang aja karena toko daging halal cukup gampang ditemuin. Restoran timur tengah atau turki yang nyediain makanan halal juga cukup banyak. Di sini puasanya lebih lama yaitu 18 jam dan it's safe to say kalau muslimnya puasa "sendirian". Suasana ramadhan juga bisa dibilang nggak ada sama sekali. Ketika lebaran pun sering kali jadwalnya bentrok dengan kegiatan lain, kuliah misalnya.

Let's go back to how Germans treat minorities. Menurut pengalaman gue 6 tahun menjadi minoritas gue tidak pernah mendapatkan perlakuan spesial pun juga perlakuan yang tidak mengenakan. Dan menurut gue itu adalah tindakan yang paling adil yang bisa dilakukan suatu mayoritas. Orang Jerman sangat menghargai perempuan muslim yang memakai kerudung contohnya. How? They let us wear it and treat hijab as a normal piece of cloth. Mereka juga nggak protes dengan makin banyaknya restoran atau toko halal berseliweran. Bahkan banyak dari mereka ikutan makan dan belanja di sana. Again, they treat this halal places as normal thing. Memang ada segelintir kelompok yang sesekali demo against Islam ataupun yang punya opini negatif tentang agama ini. Tapi cuma sebagian kecil. Tapi kita juga nggak bisa dong memaksa orang untuk menerima atau pun berpikir positif tentang Islam. Semua orang berhak memiliki pendapat masing-masing. Melihat bagaimana orang Jerman biasa-biasa aja dengan Islam dan muslim, are you now surprised?

Sekarang kita singgung sedikit bagaimana minoritas berkehidupan di sini. Di kampus gue nggak ada mushola. Pun gue harus sholat biasanya gue sholat di bawah tangga di basement kampus atau ya gue sholat di rumah. Temen-temen Indonesia yang lain juga gitu. Kalau mereka lagi di perpustakaan dan mesti sholat mereka tinggal cari tempat sepi dan gelar sejadah di situ. Terus gimana kalau mau cari makanan? Kalau mau patuh dengan hanya makan makanan halal di sini banyak kok menu makanan vegan. No animal product used. It's safe for us Muslim to consume. Beberapa ada yang mengikuti mahzab baca bismillah sebelum makan karena di luar negeri agak sulit untuk cari makan. Toh islam banyak mahzabnya, nggak kaku. Untuk urusan salah/benar yang absolut hanya Allah yang tau. The choice is yours. Untuk urusan cari kerja banyak yang katanya terbentur dengan kerudung. Tapi banyak juga yang dapet kerjaan di tempat lain yang nggak mempermasalahkan hijab. Toh rezeki bukan si bosnya yang ngatur, tapi Allah. 

Jujur, dengan beberapa kesulitan yang nyata ini gue biasa-biasa aja. I don't feel offended nor do I feel living like an outsider. Banyak orang yang nanyain ke gue seakan-akan orang Jerman mendiskriminasi muslim dengan tidak memudahkan muslim untuk ibadah, makan, dsb. Well, I guess it's the consequence we have to take. Menjadi minoritas emang pasti ada risikonya. Tapi gue tidak melihat itu sebagai alasan gue untuk playing victim seakan-akan kehidupan gue sebagai muslim dipersulit. Begitu juga dengan teman-teman muslim lainnya di sini. Mereka biasa-biasa aja juga. "Tapi kan liat deh... Masa dikasih tempat sholat di kampus aja nggak. Masa sholatnya di bawah tangga?". Emang kenapa sholat di bawah tangga? Sholat kan bisa di mana aja. Terus semisal nggak disediakan waktu ishoma di tengah-tengah mata kuliah dan lo harus cari-cari waktu di sela-sela untuk sholat. What do you expect? You're in Germany not in Indonesia or Saudi Arabia. I'm asking real question here, emangnya orang Jerman harus banget ya selalu menyediakan semua fasilitas untuk muslim? Mereka udah melakukan apa yang harus mereka lakukan, yaitu membiarkan kita mau ngapain aja yang berurusan dengan agama asalkan nggak mengganggu orang lain. They freaking let us do our thing. They never tried to kill us like the ones in Myanmar trying to get rid of Rohingya. Is it necessary for us, minorities, to demand more than that? Kayaknya malah minoritasnya yang harus menerima dan menghargai apa yang udah ada. Because you know, that's how it works.

Gue rasa yang menjadi titik permasalahan di sini adalah attitude kita. If you want everybody to treat you like special snowflakes just because you're a minority, I think there's something wrong with you. Nobody gets any special treatment or privilege because of their race or religion. Everybody is equal as you might already know. Jadi jika lo tidak mendapatkan kemudahan tertentu ketika lo beragama di negara yang tidak beragama, bukan mereka yang tidak menghargai lo tapi lo yang terlalu manja. Because in fact we're the one who have to respect  the "Spiel" that has been existing in our neighborhood (I feel the need to say it twice in case some of you here still don't get it). Kita, sebagai muslim, yang semestinya pinter-pinter cari sudut buat sholat. Kita, sebagai muslim, yang harus cari-cari tempat buat belanja daging halal. Kita, sebagai muslim, yang harus bikin komunitas muslim atau bahkan mesjid sendiri. Bukan menuntut itu semua sama si mayoritas. Pun ketika lo sekali-dua kali mendapatkan perlakuan tidak enak atau menjadi korban diskriminasi, don't dwell on it too long and move on. World IS a harsh place to live. Gue tidak membenarkan aksi rasis apapun dan tidak pula meng-embrace segala bentuk kekerasan terhadap suatu ras atau agama, but let's just be real. It still happens karena sayangnya masih ada orang-orang super nasty dan merasa dirinya paling super di dunia ini.

Now you know how it feels like living as a moslem in Germany: we don't get special privilege nor are we treated like crap by Germans. We got enough respect from them and that's all we need.

And one thing, any of us should stop playing the victim. Because remember, NOT ONLY the majorities who have to respect us. We, minorities, MUST do the same.
Share:

51 comments

  1. Kak gitaaaaa!! Hampir tamat kali nih aku baca blognya 😂
    Terus menginspirasi🙋💃

    ReplyDelete
  2. Kak gita mau tanya, kmren sempet baca artikel di berlin bakal di bangun the house of one, jadi itu rumah ibadah gitu yang isinya 3 agama ibrahim, islam, yahudi, dan kristen. Bener gak si kak?what do you think about that?

    ReplyDelete
    Replies
    1. As a Berliner I haven't heard about it from German media. Aku dikasih tau sama seseorang di Internet and I said I don't dig the idea. Instead menggabungkan rumah ibadah, kenapa nggak setiap agama dikasih satu aja.

      Delete
  3. Meskipun aku kalo baca tulisan k'Gita berasa lagi di omel-omelin tapi sangatt membuka mata. Terima kasih sudah menginspirasi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya Allah ini bener banget sih. Apalagi tulisan ka gita yang dulu hmmm

      Delete
    2. LOL. That's just how I speak. Ketika bicara in real life juga aku seperti orang marah-marah. Mungkin karena aku orang Sumatra *alasan aja*

      Delete
    3. Waah kak gita salam kenal dari anak sumatera :) btw ini kunjungan ku pertama kali di blog kak gita. Mantap (y)

      Delete
  4. Dari pejelasan ttg khidupan di Jerman,aku setuju, seems like itu udah sesuatu yang adil, untuk mayoritas ataupun yang minoritas, karna menurutku adil itu bukan hal yang sama rata dmna minoritas harus mendapat prosentase yang sama, kalau emang suatu negara perlunya menyediakan space untuk 10 orang aja kenapa mereka harus memaksa menyediakan untuk 1000 orang?

    ReplyDelete
  5. Terimakasih atas inspirasinya kak gita

    ReplyDelete
  6. Bagussss������

    ReplyDelete
  7. Terima kasih telah berbagi, kadang memang saat menjadi minoritas kita malah menjadi lebih kuat. Pengalaman pribadi malahan waktu di indo aku pernah ketrima kerja tp ada syarat untuk melepas hijab, tp alhamdulillah Allah kasih jalan lain. Semoga tetep istoqomah untuk sodara2 ku seiman.

    ReplyDelete
  8. open mind bgt, independance cara berfikirnya, andai semua mayoritas dan minoritas di indonesia lebih bisa menghargai seperti do jerman. tetap ngevlog dan ngeblog ya git.

    ReplyDelete
    Replies
    1. thanks to all the ups and downs I got to experience alone in Germany ;)

      Thank you for supporting!

      Delete
  9. Kok kereeeen sih???? Aku ngikutin jg ig sama fb juga youtobe nya, dan sekarang blog waaaah idola :)

    ReplyDelete
  10. sesetuju itu sama cara mikirnya Kak Gita. buat ngerasain jadi minoritas mungkin gak usah jauh2 ke luar negeri. coba dulu hidup di Bali kali ya kak, hehehe.

    ReplyDelete
  11. Beda ya dengan how Insonesian people treat the minority :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sadly I do have to agree kalau banyak dari orang Indonesia yang masih nggak tau gimana cara treat minority (nggak semua lho ya)

      Delete
  12. Aahhh, well said git.. Couldn't agree more.. Belajar banyak gw dari blog lo.. Keep inspiring git.. 😇
    Btw, boleh lho mampir blog gw.. 😁😁

    ReplyDelete
  13. Kak kali2 bikin blog bahasa inggris dong 🙏

    ReplyDelete
  14. Nice post Kak Gita, spt bias selalu menginspirasi 😊 semoga Indonesia bisa lebih damai dalam urusan beragama. Ditunggu post selanjutnyaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih! :)

      Amiin. Semoga Indonesia makin bisa menerima perbedaan hehe

      Delete
  15. Makasih kak selalu menginspirasi;)

    ReplyDelete
  16. We just need to respect each other even though she/he younger than us nor she/he just "different"

    ReplyDelete
  17. terimakasih kak gita yang selalu menginspirasi saya. Saya sangat senang jika membaca blog kak gita, melihat karya kak gita di instagram dan youtube. Saat ini saya sudah memiliki blog baru dan saya berkeinginan untuk sedikit membahas tentang kak gita yang telah menginspirasi saya, bolehkah kak?
    saya akan lebih senang jika kak gita mau berkunjun ke blog saya dan memberikan kritik dan saran untuk blog saya. http://pawestrisantika.blogspot.co.id/
    terimakasih untuk segalanya kak.

    ReplyDelete
  18. bener sih ka,, aku ngerasain sih apa yang sam ka gita rasain tapi lingkupnya beda. basically lingkungan aku lahir sampe sma itu di lingkungan ponpes yang notabenenya salah dikit ngelanggar aturan agam dikit minim banget kenakalan yang ditemukan juga biasa aja gak sampek yang wow gimana itu. aku belajar banyak teori islam pengaplikasiannya yah sesuai dengan apa yang ada disana. ibaratnya teratur banget. tapi ketika aku kuliah menemukan berbagai macam kelompok kajian keislaman dan jenis orang yang berbeda - beda kecintaanku akan islam malah semakin bertambah. aku bersyukur sih ka .. ibaratnya dari lahir sampek sma lingkunganku kayak memberi bekal untukku disini,, dan aku setuju banget sih apa yang kaka sampaikan melalui tulisan kaka ini ;)

    ReplyDelete
  19. Pandangan dan pengalaman ka gita sangat berguna buat dibaca. grool.

    ReplyDelete
  20. malah kalo menurutku itu jadi hal yang challenging kalo jadi minoritas. di indo nggak bakal ngerasain hal itu. btw, keep inspiring kak git!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin karena di Indonesia kita terlalu nyaman hidup di kolam yang homogen

      Delete
  21. Banyak belajar dari kak Gita. Meskipun aku belum belajar "life lesson" dari belahan bumi lainnya, at least dari kak Gita sedikit demi sedikit aku udh mendapat sedikit gambaran sebelum nantinya aku ingin merasakan sendiri belajar banyak hal di seluruh bumi. Insya Allah

    ReplyDelete
  22. Soal makanan yg mazhab bismillah. Lucu baca nya kak Git hehe.
    Anw, aku jg prnh denger dr ustad khalid basalamah, kalau makan daging dr yg org nasrani potong atau sembelih, hukumnya itu sah sah aja. Kenapa? Krn itu semua di kembalikan ke hukum asal nya si daging. Atau air misal nya, mau wudhu/bersuci dgn air tsbt tp ragu, nah balik lg ke hukum asal si air. Kecuali jk air nya udh berubah warna, bau, rasa. Baru deh g bs d pake.
    Dan bener sblm makan itu kudu pake bismillah.


    Dan sbnernya cm mw bilang klo Islam itu mudah hehe. Tp ga mnyepelekan juga. Hehe

    Wallahu'alam..

    ReplyDelete
  23. Saya adalah salah satu sekian yang melihat vlog, blog serta ig kakak dan saya sangat menyukai apa yang kaka share , membuat wawasana saya semakin luas serta penyemangat agar bisa melanjutkan S2 ke luar negeri .

    terima kasih kka atas pengalamannya :)

    Hifzon

    IG hifzonn follback ya ka :D

    ReplyDelete
  24. My inspiration banget deh ka gita,insyallah kalo aku ke jerman nanti pengen banget rasanya bisa meet up langsung dengan kakak , see u there

    ReplyDelete
  25. Dikala minoritas merasa inferior, mayoritas terlihat seakan superior
    Ujung-ujungnya playing victim :'D
    Kebanyakan nuntut hak dan lupa sama kewajiban

    Kalimat terakhirnya ngena (y)

    "And one thing, any of us should stop playing the victim. Because remember, NOT ONLY the majorities who have to respect us. We, minorities, MUST do the same.
    "

    ReplyDelete
  26. Yap mba git, bener banget soal yg dakwahin orang itu. Kalo di ceramahin malah lama lama orang tuh ya lelah juga malah bukannya lebih baik ke kita malah bakal ngejauh. Dan kalo menurut gue pun kalo emang orang mau berhijrah orang itu bakal nyari nyari yg dia butuhin. Dan gue rasa juga kalo kita berhijrah orang juga ga perlu tau, karna itu urusan kita sama Allah dan cuma Allah yg bisa bolak balik hati kita.
    Gue kuliah di univ muslim di indo dan yha lumayan banyak yg berlomba lomba untuk mengingatkan gue untuk berpakaian syari, tapi gue butuh proses kan? Kadang mereka ga bisa terima proses itu.

    ReplyDelete
  27. saya tinggal di Thailand yang mayoritas buddhist, tapi alhamdulillah, kantor pusat dan beberapa kantor di site menyediakan mushola, yang surprisingly, lebih gede dan lebih bagus daripada di kantor Indonesia hahaha dan kalaupun di tempat yang ga ada, saya izin pake meeting room kosong dan selalu diperbolehkan :D
    pada dasarnya sih menurut saya saling menghormati dan memberi kesempatan untuk beribadah aja ya dimanapun kita berada, dan ketika kita jadi mayoritas ya juga jangan 'ngelunjak' juga hehe. kadang sebel juga kalo lihat mayoritas malah play victim.
    keep writing, gita :)

    ReplyDelete
  28. Kalo ada pernyataan kayak gini "orang islam yg berpuasa harus menghormati yang tidak berpuasa" menurut kak git gimana?

    ReplyDelete
  29. im christian dan aku sekolah di sma negri yang notabene kebanyakan muslim tapi aku nikmatin aja, selagi mereka bisa respect ke aku aku juga akan respect ke mereka, aku selalu ngingetin temen-temen aku yang males sholat dan terkadang kami bertukar pikiran mengenai agama masing-masing, tapi ada aja sih kak yang mandang non muslim itu kayak gimana / ngejek atau menyanyikan lagu sindiran untuk aku, ya tapi aku gamasalah yang penting masih banyak yang respect dan baik sama aku.

    ReplyDelete
  30. suka baca tulisan kakak, jatohnya kayak ngobrol berdua, he he tapi setelah baca tentang sikap sepantasnya muslim minoritas ditengah non muslim mayoritas, pikiran aku jadi terbang ke gimana harusnya keadaan muslim mayoritas dengan adanya non muslim minoritas. siapa yang harus berperan memantaskan dan melegowokan diri kak? malah ngelantur ya, ^^

    ReplyDelete
  31. Bener kak git. Aku kuliah di univ katolik yg masih di Indonesia. Kampusku juga jadwal perkuliahannya kayak kurang ramah sama jadwal salat. Tapi kembali lagi itu adalah pilihan kita. Jadi kitalah yg mestinya menyesuaikan diri dan take the consequences.

    ReplyDelete

Show your respect and no rude comment,please.

Blog Design Created by pipdig