Orang-orang bilang masa-masa SMA adalah masa paling indah. Gue setuju banget. Masa di mana kita nggak ada beban hidup. Drama kita hanya sebatas perseteruan sepele antar teman, drama naksir-naksiran kakak kelas, berantem-berantem labil cinta monyet. Tiap hari ke sekolah bukan pingin belajar, tapi pingin ketemu orang-orangnya. Pergi ke sekolah bukan pengen nuntut ilmu, tapi pingin main capsa di kursi belakang. It was the best time of my life.
Di sana gue nemuin beberapa orang terbaik yang pernah gue temuin yang sampe sekarang jadi temen terdekat gue. If I heard the word "best friend", I'll definitely think of them. Dulu mungkin gue merasa pertemanan gue dengan orang-orang ini biasa aja layaknya pertemanan setiap orang dengan kawan baiknya. Setelah jauh dari mereka gue baru sadar kalo pertemanan dengan mereka adalah sesuatu yang patut gue apresiasi setiap detik. Gue nggak tau segimana annoying dan high tempered nya gue dulu sampai gue beranjak dewasa. Gue nggak sadar segimana egois dan lebay nya gue dulu sampai gue menginjak umur 20, ninggalin masa remaja. Apalagi kalau kami udah cerita-cerita tentang jaman dulu dan mengingat-ngingat tingkah laku gue dulu tuh rasanya nggak percaya aja gue bisa se-nggak banget itu jadi orang. Bukan perubahan pada diri gue yang ingin gue bangga-banggain di sini. Despite kenggakbangetan gue tersebut, orang-orang ini mau stay sama gue. Itu yang bikin gue bersyukur sampai sekarang. Gue nggak pernah sekali pun denger dari mereka tercetus suatu kalimat yang memojokan gue, yang mengolok-ngolok sifat gue saat itu, yang complain akan ke kanak-kanakan dan keegoisan gue saat itu sampai sekarang. I'm grateful and proud at the same time. Gue bangga punya temen-temen yang ngerti betul apa itu pertemanan dan bersyukur karena gue bisa ada di hidup mereka, bisa nyicipin baiknya mereka.
Pernah nggak sih lo berada di suatu situasi di mana lo ngerasa nyaman banget. Nggak terpikir di benak lo untuk mengubah diri lo, memilah-milah kata-kata lo, dan menutupi keburukan lo, karena lo tau mereka nggak akan mengeluh tentang sifat lo, tentang perkataan lo, tentang diri lo. That's how I feel whenever I'm around them. Gue bisa cerita apapun, menumpahkan segala keluh kesah gue tanpa khawatir apakah gue udah terlalu banyak ngomong, terlalu rempong ngehadepin masalah, terlalu panikan. Karena gue tau mereka akan selalu mendengarkan dengan senang hati. Di deket mereka gue bisa jadi diri gue sendiri, bodo amat sama apa yang gue lakuin, karena gue tau mereka nerima gue apa adanya. Pun ada yang mereka nggak suka di diri gue, they'll tell me in a good way as a good friend and for my own good. Itu yang gue pelajari bertahun-tahun di masa remaja gue sampai sekarang. That's a kind of friendship I know, menerima teman baik lo apa adanya, selalu suportif, saling mendukung satu sama lain, saling nasehatin satu sama lain, dan selalu ada kapan pun, di situasi apapun. As simple as that.
Sampai akhirnya gue pindah ke Jerman. Gue masuk lingkungan baru, dengan muka-muka baru, ketemu sama personality baru. It hits me so hard, because some people here (those who I considered as good friends) have different understanding and different opinion on friendship. Di Jakarta dulu gue nggak pernah discanning dari atas sampe bawah sama sahabat gue (that's not what best friends do, right?), nggak pernah diliatin makeup apa yang gue pake, nggak pernah disaingin karena lebih ini dan lebih itu, nggak pernah diliat secara permukaan. But these people do. Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngafe-ngafe gaul dan jalan bareng tiap minggu, once lo udah jarang ketemu, you go back to square one. Pertemanan lo renggang. So it's like quantity over quality? Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa seneng-seneng sama orang ini, tapi ketika orang ini lagi di masa sulit, mereka nggak memberi moral support or even time. Buat mereka pertemanan adalah ketika orang ini bertingkah laku dan bersifat sesuai apa yang mereka mau. In other word, they don't accept you as who you are. Iya, selama berteman sama mereka gue harus selalu menutupi sifat asli gue, gue harus bertingkah bodoh dan goofy supaya bisa bikin mereka ketawa, gue harus berusaha keep up supaya mereka selalu menerima gue, dan gue selalu complain ke diri gue, "What are you doing, Git?!". Hanya supaya gue bisa diterima, gue rela usaha segitunya. Why did I do that?
Karena gue tau gue bukan orang yang menyenangkan, gue bukan cewek yang suka diajak jalan tiap minggu ngafe-ngafe buang-buang uang, gue bukan cewek rempong, gue bukan cewek yang suka haha-hihi sleepover nggak jelas, gue bukan cewek yang suka selfie-selfie pas lagi nongkrong bareng, gue bukan cewek yang suka ootd bareng. I am not that kind of person. Menutupi sifat gue yang dingin, yang serius, yang butuh waktu sendiri, yang lebih mengedepankan quantity over quality, yang lebih melihat esensi, yang selalu punya strong view dan perspective, yang kaku, yang pemikir, yang nggak tau caranya bersenang-senang, adalah hal yang sulit. Terlalu sulit, at least buat gue. Dan gue rela ngelakuin itu semua supaya gue bisa diterima. Supaya diri gue yang bersudut ini bisa muat ke lingkaran mereka. I struggled so much selama gue di Jerman. I keep blaming myself, "Kenapa lo nggak bisa play along well in this society?". Dan satu hal lagi, gue benci sama persaingan. Tapi di sini hawa rivalry terlalu kuat, even for the smallest thing. Gue masih inget gimana gue selalu diolok-olok karena gue selalu dapet likes over 100 di Instagram, padahal foto yang gue upload juga nggak jelas. I smell strong sense of envy there, like really strong. Semua hal itu membuat kesulitan yang gue rasain jadi makin sulit rasanya. Semua pet peeves gue, semua hal yang dari dulu selalu jadi yang paling gue benci, dateng ke gue tiap hari, gue lihat tiap hari, gue temuin tiap hari. Rasanya kayak lo melihat orang di depan lo selalu KKN, padahal lo adalah orang yang idealis. Setidakmenyenangkan itu.
Gue masih inget gimana waktu gue sakit dulu, orang-orang yang gue anggap dekat malah nggak jenguk gue. Selama 44 hari di isolasi, mereka cuma jenguk gue sekali. They have know idea gimana stressnya gue dulu terkapar di rumah sakit nggak bisa kuliah sampe-sampe gue harus mundur satu semester. They didn't even care. Kalo mau huznudzon mungkin mereka sibuk nggak ada waktu. Tapi mereka nggak jenguk lagi karena mereka takut ketularan. Yep, I'm still trying my best to think positive here. Gue juga masih inget waktu gue lagi stress banget sama kuliah yang nyebabin sekujur punggung gue eksim semua. Saat itu selama sebulan gue cuma tidur 1-3 jam dan gue masih harus ngurusin acara mereka. Kita waktu itu jadi panitia suatu acara. At first I said no, karena gue tau gua akan sibuk. But she kept asking me to help her. Gue pikir, "Yaudahlah temen gue lagi minta dibantu masa gue nggak bantuin?". They didn't even care how I was back then even when I already told them my situation. All they cared about was me doing the job done. Ketika gue bener-bener nggak bisa nge-handle job desk gue, gue malah didepak dari kepanitian karena takut atmosfernya jadi kacau gara-gara gue. Gue masih inget betul gimana gue ngerasa disampahinnya saat itu, disampahin sama temen gue sendiri. Gimana marahnya dan nggak percayanya gue sama apa yang udah dilakuin sama mereka. Gue juga masih inget gimana setengah matinya gue mencoba untuk menahan amarah gue, tapi gue takut akan mendapat judgment yang lebih buruk lagi. Dan gue akan selalu inget gimana kecewanya gue sama mereka yang juga ninggalin gue, bersama dengan orang-orang yang menyudutkan gue ketika gue perlahan-lahan mengubah diri gue. And I don't wanna be my old self again, who couldn't hold anger. Akhirnya gue minta maaf, minta maaf, dan minta maaf. Tiga kali gue minta maaf, tapi itu semua tetep nggak bisa nge-restore friendship gue sama mereka. Mereka nggak mau ketemu gue lagi, mereka menghindar. We're now strangers again.
Berbulan-bulan ini semua membebani otak gue yang kecil ini. Berbulan-bulan gue simpan kekecewaan gue. They don't know how hard I've tried to be a person they like, to be a friend they wanna have. Berbulan-bulan gue menyayangkan mereka yang nggak ngerti arti pertemanan, they who don't have pure heart, yang sebenernya ada apa-apa ke gue tapi act like nothing happened di depan orang lain, bahkan di depan cowo gue. Berbulan-bulan gue kesel ke diri gue sendiri, kenapa gue nggak bisa menerima mereka yang seperti itu? kenapa nggak gue yang mencoba mengerti mereka?, dan berbulan-bulan juga gue mempertanyakan ke diri gue "Kenapa gue harus marah?".
Salah satu teman gue kemudian mengingatkan gue sama satu cerita tentang sahabat yang hidup di jaman Rasulullah:
Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat.
Dahulu
di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa
berkumpul bermusyawarah bersama para Shahabatnya radhiallaahu 'anhum. Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.
Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga.". Para Shahabat r.hum pun saling bertatapan. Di sana ada Abu Bakar Ash
Shiddiqradhiallaahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallaahu 'anhu, Umar bin
Khattabradhiallaahu 'anhu, dan beberapa Shahabat lainnya.
Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana. Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.
Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Shahabatnya, Beliau SAW pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga.". Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Shahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa dengan pemuda sederhana itu?
Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa, bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Shahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallaahu 'anhupun merasa penasaran amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?
Maka Mu'adzradhiallaahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang
berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa
malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan
mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.
Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh. Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.
Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut. Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.
Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.
Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu, "Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga. Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau
tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau
lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"
"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."
"Amalan apakah itu?"
"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."
"Subhanallah. Kemudian apa?"
"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."
"Subhanallah, lalu kemudian?"
"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun. Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus."
"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga. Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."
Mungkin gue butuh waktu. Gue butuh waktu lama buat maafin mereka, just because I don't have that huge of imaan in me. But what I know is, if I forgive them, I do it for Allah, not for them.
Adalah Rasulullah saw
pernah berkata kepada Ali ra, "Hai Ali, tahukah kamu laki-laki yg
mendahului kamu masuk surga?" Jawab Ali, "Allah dan Rasululnya lebih
tahu," Rasulullah melanjutkan, "Si Fulan..." (maaf, lupa nama sahabat yg
dimaksud) Ali heran krn laki-laki yg dimaksud, dr segi ibadah pd
zamannya biasa-biasa saja. Tapi krn Rasulullah telah menyebut 'si Fulan'
maka Ali ra ingin tahu, gerangan amalan apakah yg dilakukannya sehingga
dia termasuk ahli syurga.
Ali ra datang bertandang ke rumah yg bersangkutan dan minta izin
bermalam tiga malam (aturan bertamu, jangan lama-lama he he he...).
Ternyata, dlm tiga malam itu, Ali ra tidak melihat 'si Fulan' shalat
tahajud atau membaca alquran, dst...
Akhirnya Ali ra penasaran dan menceritakan pernyataan Rasulullah SAW. si
Fulan pun heran dan kemudian berkata: "Mungkin perbuatan ini, tapi masa
iya...saya selalu memaafkan orang yg secara sadar atau tidak menyakiti
saya setiap malam sebelum saya tidur..."
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/danangarmady.kompassiana.com/indahnya-memberi-dan-meminta-maaf_55087c6ba33311b96d2e3942