Saat itu gue sedang dalam perjalanan ingin mengambil laptop gue yang hari itu udah selesai direparasi. Karena seminggu ini gue udah terlalu banyak berkutat dengan smartphone dan layar kecilnya itu, gue memilih untuk baca buku untuk menemani gue di kereta. Hitung-hitung sebagai refreshment untuk mata. Ketika lagi asik membaca, kereta gue berhenti di salah satu stasiun. Kemudian masuk lah seorang Penner. Dalam bahasa Jerman, Penner berarti pengemis atau tuna wisma yang tinggal di jalanan.
Gue adalah orang pertama yang dimintai uang sama dia. Out of all the passengers, kenapa gue? Apakah karena muka gue yang terlihat baik atau karena gue terlihat seperti orang berada? Either way, gue menolak dengan halus pengemis ini. Bukan karena sedang nggak ada koinan, tapi karena gue nggak mau memberi.
Kemudian dia memohon lagi sama gue apakah gue punya makanan instead uang. Lagi, gue menolak secara halus. Kali ini karena gue memang nggak sedang ada makanan.
Pengemisi ini pun berlalu, memberi pertanyaan di kepala gue dan sedikit penyesalan.
"Kenapa gue nggak mau ngasih uang?"
Kebanyakan pengemis yang gue lihat menggunakan uangnya untuk obat-obatan dan alkohol. Mengetahui uang yang baru saja kita berikan akan digunakan untuk kesenangan temporer membuat gue selalu berpikir empat kali untuk lantas memberi. Menyisihkan sebagian uang kecil terasa berat jika melihat orang yang meminta hanya menadah tangan, melihat mereka tidak berusaha cukup keras untuk keluar dari kesengsaraan.
Yang selalu hati gue pertanyakan, "Git, apa lo yakin mereka nggak berusaha?"
Nggak, gue nggak yakin. Mungkin baru kemarin mereka coba-coba cari pekerjaan. Mungkin juga si pengemis sudah 5 tahun keluar masuk kereta hanya meminta-minta.
Biasanya setelah itu otak gue akan mencoba berargumen lagi, mengingat kembali cerita tentang orang dari kampung yang datang ke Jakarta untuk bekerja, sebagai pengemis tentunya. Dia sengaja meminta-minta di lampu merah, seakan-akan nggak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan dan benar-benar kepepet hidupnya. Tapi ternyata di kampung hidupnya cukup berada. Punya harta yang dibeli dari hasil mengemis di ibu kota.
Perdebatan ini biasanya berlangsung sepersekian detik. Tidak terlalu lama jika dibandingkan dengan perdebatan antara dua manusia. You know, our brain thinks way faster than our mouth and brain combined trying to construct a sentence. Tapi tetap terlalu lama untuk membuat pengemis ini menunggu di depan kita dengan muka memelas sembari kita menyelesaikan perdebatan antara si otak dan si hati. That's why I ended up telling him or her no. I don't wanna make this person wait.
...
Direct message seorang kawan pagi ini mengingatkan gue akan kejadian di atas. Dia bercerita tentang percakapan antara Nabi Musa as. dengan Allah SWT. Dalam percakapan ini Nabi Musa bertanya tentang ibadah yang membuat Allah senang.
Bukan sholat, karena sholat sesungguhnya melindungi kita dari perbuatan keji dan munkar. Bukan dzikir, karena dzikir membuat hati kita tenang. Bukan pula puasa, karena puasa membuat kita belajar untuk menahan hawa hafsu.
Kemudian Nabi Musa lantas bertanya ibadah apa yang dapat membuat Allah SWT senang.
Allah SWT menjawab, "Sedekah. Tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang kesusahan dengan sedekah, sesungguhnya Aku sedang berada di sampingnya."
Look at you, Gita. Si manusia yang punya seribu alasan untuk tidak membahagiakan si pengemis, padahal sebenarnya lo tidak membutuhkan satu alasan pun untuk menolong orang lain.