by Gita Savitri Devi

6/24/2013

What The Heck Am I Writing?

"I'm too busy doing my routines. When will I have a chance to live my dream?" - Gita Savitri Devi, 21 tahun, mahasiswi yang masih dilanda keraguan


Sebulan ini gue punya banyak banget waktu merenung. Bangun tidur merenung, siang main game lalu merenung, sore makan roti sambil merenung, malem-malem ngecek timeline disudahi dengan merenung. Pertanyaannya :
  1. "Lo nggak ada kerjaan apa gimana, Git? Kok merenung mulu?"
  2. "Apaan sih yang lo lamunin?"
Jawabannya simpel : Kepo deh! Gue emang lagi disuruh merenungi detik-detik yang diberikan dan gue bingung.

Diatas gue tulis kalau gue masih dilanda keraguan dan itu benar adanya. "Coy, elu udah 21 tahun, temen-temen lo udah pada wisudaan sama revisi skripsi. Lo masih disini aja pake acara ragu-raguan segala.". Banyak komentar.
Iya, gue so far nggak puas sama apa yang gue kerjain. I'm too busy doing my routines, so i don't have any chance to do things I enjoy doing. Pasti lo pernah deh ngerasa bosen sama rutinitas lo, kerjaan lo, yang sebenernya adalah tanggung jawab lo. Entah sebagai anak dari sepasang ibu bapak, pelajar, atau sebagai manusia juga boleh. Disini lo itu pasti bingung : Kenapa ya kok gue nggak puas sama hidup gue?
Masalahnya bukan di diri lo yang merasa orang lain selalu mendapat lebih dari lo, bukan. Bukan karena diri lo yang tidak bersyukur. Eits, kalau yang satu ini harus dipikirin lagi. Bisa jadi kita nggak bersyukur makanya kita nggak puas. Tapi kan jalan hidup lo adalah pilihan lo? Nah, ini dia. Bener nggak sih pillihan gue?
Sebenernya bullshit banget lah kalau hari gini--udah nyemplung--tapi masih mikir, masih ragu, masih nggak yakin, dan meraba-raba jalan. Harusnya ya jalanin aja, paksain.
Tapi disini gue merenung lagi. Harusnya gue tau apa yang gue mau dan suka. Walaupun hidup ini nggak semata-mata selalu ngelakuin apa yang lo mau dan suka. Kalo kayak gitu gue rasa manusia nggak akan pernah belajar dan bakal jadi selfish bastard.

Tapi tetep, menurut gue hidup gue yang sekarang nggak bikin jalanan didepan sedikit tidak berkabut. Buktinya gue nggak kepikiran sama sekali gue bakal ngapain. Apa gue bakal ngejalanin yang namanya sidang di depan profesor-profesor uni, gue mempresentasikan thesis gue tentang suatu reaksi kimia dan disitu gue nunjuk-nunjuk layar powerpoint sambil ngejelasin teori-teori kimia bak orang pinter yang kebanyakan belajar. Dan setelah lulus S1 gue ngajuin beasiswa ke Amrik demi nge-fulfill american dream gue, terus gue kerja di perusahaan sana sambil visit-visit santai bokap gue tiap weekend. Gue nggak kepikiran apa-apaan.
Mungkin gue bakal lulus. Mungkin gue bakal sidang di depan profesor sambil cuap-cuap kayak scientist, padahal bachelor aja lagi usaha lulus. Mungkin gue bakal lanjut S2 dan di hire perusahaan Amrik. Nggak ada yang nggak mungkin, tapi--I'm telling you--gue belom mikir sampe sejauh itu soalnya gue bingung.
Lagi-lagi gue bilang gue bingung, ditambah ini tulisan udah ngalor-ngidul kemana-mana. Intinya gue bertanya lagi, "Bener nggak ya ini yang gue mau?". Itu sih yang selalu gue tanyain ke diri gue. Apa bener gue beneran mau jadi nerd-nerd nggak santai pake baju putih, kacamata labor, ngerjain proyek wissenschaftlich yang pun lagi istirahat makan tapi obrolannya tetep tentang kimia-kimiaan? Gue masih dengan mindset gue yang lama : Gue adalah Gita yang waktu kelas 1 SMA dapet ranking kedua dari bawah, Gita yang nggak pernah tau kapan ada ulangan, Gita yang selalu main kartu di belakang kelas, Gita yang rada gagap, Gita yang mikirnya lamban, dan Gita yang punya masalah berkonsentrasi. Gue butuh cerita tentang seseorang yang dongdong tapi bisa lulus kuliah dan sukses, biar gue jadi merasa di dorong ampe jauh.

Gue kedatengan tamu dari luar kota dan kita cerita-cerita aja. Dia cerita tentang dia yang semester ini cuma ada tiga ujian, selebihnya cuma proyek-proyek asik. Juga tentang kuliah dia yang ada proyek bikin film, fotografi, ngebahas film, dan hal-hal--yang--menurut--gue--enak lainnya. Terus di sela-sela ngobrol gue pun merenung "What are you doing, Git?". Lalu terjadilah percakapan didalam otak gue (masih waktu di sela-sela ngobrol. Iya coy, otak gue juga bisa multi-tasking) :

Gita 1 : "Git, did you just hear that?"
Gita 2 : "What he just told me? Yeah, sounds like fun, huh?"
Gita 1 : "Iya, nyet. Bayangin lo kuliah kayak gitu. Pasti lo bakal enjoy banget."
Gita 2 : "I did want to study kayak gitu kan, tapi nggak dapet izin."
Gita 1 : "What were you thinking choosing that major?"
Gita 2 : "Dunno."
Gita 1 : "You should've studied something else or at least SOMEWHERE ELSE."
Gita 2 : "Dude, my uni is one of the best unis in Europe."
Gita 1 : "So what? Nggak ada bedanya kalau lo pulang Indo. Lulusan jerman ya lulusan jerman."
Gita 2 : "Beda, nyet. Gue yakin pasti ntar ada advantage-nya."
Gita 1 : "Seriously, lo mestinya daftar Fachhochschule, bukan Uni."
Gita 2 : "Grrrr..."
Gita 1 : "Lo stress kemaren itu hasil bikinan lo sendiri."


Gita beneran ngomong ke temen : "Arghhh... Gue jadi pingin pindah."

Hasil renungan gue kali ini, ternyata bener : life isn't just about doing what you love and want to do. You'll be able to learn more about life and yourself when you push the envelope and get out of your comfort zone. Mungkin gue nggak akan pernah bisa ngomong kayak gini kalau gue lagi kuliah asik-asik mikir ide buat film, atau lagi edit-edit hasil foto, atau lagi syuting buat proyek akhir semester. Dan bener, orang punya cara menuju suksesnya masing-masing. Orang punya cerita dan takdir masing-masing. Orang punya cobaan masing-masing, dan Tuhan punya cara masing-masing dalam memberi pelajaran hidup dan mensyukuri nikmat yang udah Dia kasih ke hambanya.
Iya sih, mungkin sekarang-sekarang gue lagi nggak bersyukur aja. Masih untung gue bisa kuliah. Walaupun indeed setengah mati banget gue nyelesain satu semester. Dengan kapasitas otak gue yang cuma segini, tapi gue menghadapi sesuatu yang huge. Lebay sih kedengerannya, tapi kuliah disini emang susah nggak pakai terkecuali. Problem tunggal : bahasa. Semua terbentur karena bahasa.

Back to my question : We picked our own path. Did you pick yours thoughtfully?




Share:

6/19/2013

Enjoying Weekend As Tourists Part 2

Pada kesempatan kali ini Paul dan Gita keren lanjut jalan-jalan ke beberapa tempat keren di Berlin. Tujuan pertama adalaahhh... *jeng-jeng-jenggg!!* Pergamon Museum. Kenapa bisa ended up disana? Karena kami sebelumnya googling dulu dong mau kemana! Haha. Pas nemu ini, gue yang "Yang, ni tempat kayaknya keren deh. Kesana yuk hari ini?". Paul pun berkata, "Hmm.. Hayuk!". 
Museum ini berisi tentang bangunan-bangunan pecyah peninggalan ancient greek dan egypt. Reaksi kami berdua sewaktu memasuki museum ini adalah "Wow....". Kenapa bisa ngomong wow? Karena :




Yang ini nyolong dari Wikipedia
The whole thing di boyong ke Berlin! Batu-batuan yang masih tersisa di bawa kesini dan di taro di museum dan this thing is HUGE. Ternyata pas masuk ke bagian lain dari museum ini, gue dibikin ngomong "Wow" lagi. Ah... Stop it you!
Tapi asli ni museum gedeeee bener. Paul dan gue yang tadinya berbinar-binar jadi "Yang, keluar yuk. Panas."






Pokoknya ini museum keren, karena isinya nggak cuma batu-batuan atau patung-patung mainstream, tapi beneran bangunannya. Jadi kita bisa bener-bener bayangin the actual building. Hammer! (Walaupun isinya banyak banget banget banget--oke lebay--tapi tetep keren lah).


Setelah menapakan kaki dan berjalan-jalan sebentar di museum, kami lanjut ke Ritter Sport. Jadi berhubung Ritter Sport itu asli dari jerman, di buatlah semacam pusatnya dan disana kita bisa ngerancang coklat sendiri. Bisa suka-suka mau pake isi apaan. Disana juga ada café dan mereka jual Ritter Sport muffin! What's better than dat?!








Our chocolate creation : Marshmallow, rice crunch, corn flakes


Dari Ritter Sport kami lanjut ke Gendarmenmarkt. Gue pribadi belom pernah masuk ke dalem gedungnya, tapi kayaknya itu semacaem tempat konser-konser klasik orkestra gitu lah. Disekitarnya juga ada restoran-restoran. Tipikal eropa. Yang gue suka dari tempat ini adalah bangunannya tua-tua asik santai gitu dan bagus buat objek foto. Gendarmenmarkt ini menjadi tujuan terakhir kita pada hari itu, hari kami menjadi turis, turis asia (bukan Tongkang).








Kami memutuskan untuk stay disini sampe hari agak gelap a.k.a nungguin sunset. Cukup menenangkan dan sangat kereeen!
Share:
Blog Design Created by pipdig