by Gita Savitri Devi

7/28/2018

(Akhirnya) Hari Untuk Gita

The day is almost there. Gue akan jadi istri orang dan gue akan punya suami.

Suami.

Seseorang yang nggak pernah gue sangka gue punya. Karena dari dulu gue berpikir pernikahan itu bukan buat semua orang. Some people are comfortable being all by themselves. Some people are not there to build a family. But for me, I slowly learned about myself that I need someone to be there for me

to be a listener
to be a partner
to be a company
to be a friend for life

And I don't mind that at all.

...

Now let's talk about the wedding.

Buat gue pernikahan itu adalah suatu aktivitas yang dibuat-buat oleh manusia. Gue nggak berkata tentang akad nikahnya, tapi tentang resepsinya. Bayangin, hanya untuk acara yang berlangsung beberapa jam aja, lo diharuskan untuk pusing-pusing dan menyiapkan semuanya dari jauh-jauh hari. Anyway, ada satu film Indonesia berjudul Hari Untuk Amanda yang kebetulan adalah salah satu film favorit gue. Walau aktingnya kurang, ceritanya menurut gue oke. Tapi yang buat gue suka adalah latarnya. Jakarta banget.

Film itu menceritakan tentang Amanda, seorang wanita muda yang bekerja sebagai karyawati, yang sedang riweuh menyiapkan hari pernikahannya. Sebagaimana pra-pernikahan pada umumnya, selalu ada aja drama yang dateng. Selain karena si Dodi, calon Amanda, yang workaholic dan selalu nggak ada waktu ngurusin kawinan bareng-bareng, mantan Amanda bernama Hari pun tiba-tiba dateng untuk ngerebut Amanda balik. Tapi gue seneng, di situ Amanda nggak jadi fakir cinta dan korban gombalan Hari. Dia tetep jadi sama Dodi. Emang, ya. At the end of the day wanita itu butuh pria yang bisa memberi kepastian. Ups, sorry spoiler.

Pertama kali nonton film ini adalah tahun 2010. Gue masih umur 18 tahun dan nggak kepikiran kawin sama sekali. Ngeliat gimana ribetnya Amanda ngurusin undangan, catering, sampe fitting baju, gue ampe mikir, "Emang seribet itu, ya?". Ternyata emang ribet banget sih. Karena pada kenyataannya manusianya sendiri yang bikin ribet. Semuanya harus sempurna, catering nggak boleh kurang, baju harus pas, dekorasi harus paripurna, undangan nggak boleh salah, dan lain sebagainya.

Gue juga sering banget nonton video-video informatif di YouTube mengenai industri pernikahan itu sendiri. Isinya rata-rata sesuai dengan realita yang gue liat. Pernikahan sangat dibisnisin dan apapun yang ada embel-embel "wedding" pasti di-charge mahal. 

Mengetahui hal itu, tunangan kemaren gue bikin super simpel. Boro-boro mau pake dekor atau fotografer, nyewa makeup artist pun enggak. Batiknya Paul adalah batik yang dia udah punya dari lama. Kotak seserahannya minjem sama temennya sepupu gue dan kotak sirih-sirihannya minjem punya nenek gue. Pas selesai tunangan, gue mikir, "What, nggak jelas banget ni acara. Untung gue nggak pake vendor-vendoran.". Gimana enggak, acaranya palingan cuma 2 jam dan intinya sebenernya cuma pertemuan dua keluarga.

Sebenarnya setelah gue tau mau kawin, gue langsung check segala macam vendor di Instagram dan nanya-nanya harga. I was really pumped karena akhirnya gue bisa jadi bridedzilla kayak orang-orang LOL. Pas gue liat harga yang mereka tawarkan, kepala gue langsung sakit. Asli, ini gue bukannya ngelebih-lebihin. Digitnya banyak banget, lalu gue pun bingung gimana gue bayarnya. Terus gue mikir, nggak nikah gimana, mau nikah mahal. Mengapa seringkali hidup itu tidak ada pilihan. Akhirnya gue memilih untuk tunangan dan nikah di Palembang aja karena ogut nggak shanggup bayar kawinan di ibu kota hahaha.

Di nikahan nanti sebenernya nggak jauh beda. Wedding organizer-nya, Eviar, dipunyai temennya sepupu gue. Makeup artist-nya Mbak Carol, pentolan Wardah yang baik hati banget menawarkan diri untuk makeup-in gue. Baju? Dibikinin sama Ibu Nina dari Aira Wedding. Akhirnya pake Aira pun karena obrolan malam hari di dalam Uber bareng Tika kala itu di London, ketika kita abis makan di Nando's. Kalau foto, ada temen-temen dari Ink Photos yang mau bantuin. Dan untungnya punya keluarga gede adalah ada yang mau bantuin catering.

Di sini yang jadi pahlawan adalah Emak gue. Dia ngurusin literally semuanya. Dia yang bikin dekorasi sendiri bareng sama temennya, dia yang ngurusin lampunya bareng tukang lampu yang biasa kerja di rumah Nenek gue, dia yang bolak-balik ke Asemka dan Rawa Belong buat beli bunga. Sampe ke souvenir pun doi yang nyetrikain dan ngebungkusin satu-satu. Gue ngebayanginnya aja nggak sanggup. Kayaknya kalo gue punya anak nanti, gue nggak akan ngurusin kawinan anak gue sampe segitunya.

Gue jadi teringat saat gue mau ke Jerman dulu. Di mana orang-orang pada pake agen karena merasa nggak ada cara lain untuk ke negara tersebut, Emak gue rela buat ngurusin semuanya sendiri daripada harus bayar ratusan juta. That's how we normally role, always look for the alternative.

Kayak satu pasangan yang di-feature di The Bridesdept beberapa waktu lalu. Mereka cuma ngeluarin duit 50 juta buat acara kawinan. Salah satu triknya adalah dengan nggak bikin pelaminan. Menurut gue itu smart banget. Lo nggak perlu sama dengan orang lain kalau memang terms and conditions-nya sulit diaplikasikan di lo. Apalagi saat lo tau orang-orang banyak yang nge-charge harga setinggi langit karena mereka tau akan ada orang yang mau bayar berapa pun. You don't have to be that person. You actually have a choice.

Mungkin kita sering lihat gimana kawinan-kawinan zaman sekarang di Instagram. Mewah, keliatan mahal, meriah. Kalo sobat-sobat qismin kayak gue maksain, yaa mungkin bisa lah gue ngutang kiri-kanan, tapi setelah kawinan baru deh gelagapan mikirin balik modalnya. Tapi emang bener sih. Di agama juga nggak pernah diwajibkan harus pesta pora, yang penting sah di mata Allah SWT. Dasar kita, manusia-manusia yang rela terjebak di dalam permainan kultur dan society, karena berpikir, "Nikah kan sekali seumur hidup".

Yha.


Share:
Blog Design Created by pipdig