by Gita Savitri Devi

12/14/2016

Being Muslim in a Non Muslim Country

Selain tentang bagaimana cara kuliah di Jerman, pertanyaan lain yang sering gue dapatkan adalah bagaimana hidup sebagai muslim di negara yang sekuler ini. As simple as it sounds menjadi muslim di Jerman itu biasa-biasa aja. Mungkin dengan banyaknya berita di media mengenai bagaimana muslim sebagai minoritas diperlakukan wajar aja kalau banyak juga dari kalian yang beranggapan semua non muslim di luar negeri itu rasis dan diskriminatif. Nyatanya perlakuan tidak enak itu hanyalah segelintir. Kebanyakan "bule" ternyata baik, biasa-biasa aja kalau liat orang pake kerudung, dan biasa aja kalau liat orang sholat ataupun puasa. 

Kehidupan berislam di sini jelas beda dengan di Indonesia. Di mana sangat gampang buat beribadah. Adzan selalu berkumandang di berbagai sudut kota, mau makan pun nggak usah mikir. Begitu juga ketika Idul Fitri dan Idul Adha, udah pasti bisa ikutan sholat Ied karena toh hari itu semua diliburkan. Bedanya di sini masjid nggak sebanyak di Indonesia, tapi bukan berarti nggak ada. Kalau pun lagi nggak nemu mesjid sholat di suatu sudut taman atau halaman gedung juga bisa. Mau makan juga gampang aja karena toko daging halal cukup gampang ditemuin. Restoran timur tengah atau turki yang nyediain makanan halal juga cukup banyak. Di sini puasanya lebih lama yaitu 18 jam dan it's safe to say kalau muslimnya puasa "sendirian". Suasana ramadhan juga bisa dibilang nggak ada sama sekali. Ketika lebaran pun sering kali jadwalnya bentrok dengan kegiatan lain, kuliah misalnya.

Let's go back to how Germans treat minorities. Menurut pengalaman gue 6 tahun menjadi minoritas gue tidak pernah mendapatkan perlakuan spesial pun juga perlakuan yang tidak mengenakan. Dan menurut gue itu adalah tindakan yang paling adil yang bisa dilakukan suatu mayoritas. Orang Jerman sangat menghargai perempuan muslim yang memakai kerudung contohnya. How? They let us wear it and treat hijab as a normal piece of cloth. Mereka juga nggak protes dengan makin banyaknya restoran atau toko halal berseliweran. Bahkan banyak dari mereka ikutan makan dan belanja di sana. Again, they treat this halal places as normal thing. Memang ada segelintir kelompok yang sesekali demo against Islam ataupun yang punya opini negatif tentang agama ini. Tapi cuma sebagian kecil. Tapi kita juga nggak bisa dong memaksa orang untuk menerima atau pun berpikir positif tentang Islam. Semua orang berhak memiliki pendapat masing-masing. Melihat bagaimana orang Jerman biasa-biasa aja dengan Islam dan muslim, are you now surprised?

Sekarang kita singgung sedikit bagaimana minoritas berkehidupan di sini. Di kampus gue nggak ada mushola. Pun gue harus sholat biasanya gue sholat di bawah tangga di basement kampus atau ya gue sholat di rumah. Temen-temen Indonesia yang lain juga gitu. Kalau mereka lagi di perpustakaan dan mesti sholat mereka tinggal cari tempat sepi dan gelar sejadah di situ. Terus gimana kalau mau cari makanan? Kalau mau patuh dengan hanya makan makanan halal di sini banyak kok menu makanan vegan. No animal product used. It's safe for us Muslim to consume. Beberapa ada yang mengikuti mahzab baca bismillah sebelum makan karena di luar negeri agak sulit untuk cari makan. Toh islam banyak mahzabnya, nggak kaku. Untuk urusan salah/benar yang absolut hanya Allah yang tau. The choice is yours. Untuk urusan cari kerja banyak yang katanya terbentur dengan kerudung. Tapi banyak juga yang dapet kerjaan di tempat lain yang nggak mempermasalahkan hijab. Toh rezeki bukan si bosnya yang ngatur, tapi Allah. 

Jujur, dengan beberapa kesulitan yang nyata ini gue biasa-biasa aja. I don't feel offended nor do I feel living like an outsider. Banyak orang yang nanyain ke gue seakan-akan orang Jerman mendiskriminasi muslim dengan tidak memudahkan muslim untuk ibadah, makan, dsb. Well, I guess it's the consequence we have to take. Menjadi minoritas emang pasti ada risikonya. Tapi gue tidak melihat itu sebagai alasan gue untuk playing victim seakan-akan kehidupan gue sebagai muslim dipersulit. Begitu juga dengan teman-teman muslim lainnya di sini. Mereka biasa-biasa aja juga. "Tapi kan liat deh... Masa dikasih tempat sholat di kampus aja nggak. Masa sholatnya di bawah tangga?". Emang kenapa sholat di bawah tangga? Sholat kan bisa di mana aja. Terus semisal nggak disediakan waktu ishoma di tengah-tengah mata kuliah dan lo harus cari-cari waktu di sela-sela untuk sholat. What do you expect? You're in Germany not in Indonesia or Saudi Arabia. I'm asking real question here, emangnya orang Jerman harus banget ya selalu menyediakan semua fasilitas untuk muslim? Mereka udah melakukan apa yang harus mereka lakukan, yaitu membiarkan kita mau ngapain aja yang berurusan dengan agama asalkan nggak mengganggu orang lain. They freaking let us do our thing. They never tried to kill us like the ones in Myanmar trying to get rid of Rohingya. Is it necessary for us, minorities, to demand more than that? Kayaknya malah minoritasnya yang harus menerima dan menghargai apa yang udah ada. Because you know, that's how it works.

Gue rasa yang menjadi titik permasalahan di sini adalah attitude kita. If you want everybody to treat you like special snowflakes just because you're a minority, I think there's something wrong with you. Nobody gets any special treatment or privilege because of their race or religion. Everybody is equal as you might already know. Jadi jika lo tidak mendapatkan kemudahan tertentu ketika lo beragama di negara yang tidak beragama, bukan mereka yang tidak menghargai lo tapi lo yang terlalu manja. Because in fact we're the one who have to respect  the "Spiel" that has been existing in our neighborhood (I feel the need to say it twice in case some of you here still don't get it). Kita, sebagai muslim, yang semestinya pinter-pinter cari sudut buat sholat. Kita, sebagai muslim, yang harus cari-cari tempat buat belanja daging halal. Kita, sebagai muslim, yang harus bikin komunitas muslim atau bahkan mesjid sendiri. Bukan menuntut itu semua sama si mayoritas. Pun ketika lo sekali-dua kali mendapatkan perlakuan tidak enak atau menjadi korban diskriminasi, don't dwell on it too long and move on. World IS a harsh place to live. Gue tidak membenarkan aksi rasis apapun dan tidak pula meng-embrace segala bentuk kekerasan terhadap suatu ras atau agama, but let's just be real. It still happens karena sayangnya masih ada orang-orang super nasty dan merasa dirinya paling super di dunia ini.

Now you know how it feels like living as a moslem in Germany: we don't get special privilege nor are we treated like crap by Germans. We got enough respect from them and that's all we need.

And one thing, any of us should stop playing the victim. Because remember, NOT ONLY the majorities who have to respect us. We, minorities, MUST do the same.
Share:

12/09/2016

Ribut... Ribut... Ribut...

Gue perhatikan beberapa minggu ini sepertinya sosial media kayak Facebook dan Twitter semakin memanas. Sebenernya bukan baru-baru ini aja timeline gue jadi rame sama berita politik dan agama, tapi kayaknya sekarang kok gue jadi makin gerah aja gitu ngeliat semua ini. Terlebih ini semua seharusnya nggak perlu terjadi. Di sini gue bukan pengen sok-sokan netral, ya. Karena iman itu pasti memihak. Gue hanya ingin mencoba berpikir jernih memandang masalah yang sebenernya agak sensitif ini.

Diawali dengan si A yang bukan pada waktu dan tempatnya, menyinggung ayat dari agama lain. Mau dianalisa pake ilmu linguistik dari planet XYZ pun menurut gue si A ya emang salah. Doi di posisi di mana doi pemeluk agama lain, tapi bisa dengan mudahnya membicarakan hal yang bukan tentang agamanya. Dia bilangnya sih dia tau tentang islam dikarenakan doi dulu sekolah di SD islam. Yakali... Anak SD dulu di pelajaran agama belajar apaan si? Tafsir Quran? Sampe semacam kayak gitu bisa dijadiin alasan. Emak dan babe gue yang dari SD sampe kuliah di institusi pendidikan katolik aja nggak tau apa-apa tuh tentang agama katolik, nggak berani ngomong apa-apa tentang agama itu. Di Facebook gue ribut deh kedua belah pihak, yang mencela dan membela. Yang mencela terkadang terlalu berlebihan dan yang membela juga argumennya aneh-aneh dan bikin makin terlihat pathetic. Padahal ya salah si A kenapa udah jadi pejabat tapi jaga lisan aja nggak bisa.

Itu semua lalu dilanjutkan dengan aksi 411 yang menoreh banyak perhatian dari yang mendukung dan pasti juga dari pihak yang bisanya nyiyir doang. Gue pribadi mendukung aksi kayak begini. Karena toh aksinya juga aksi damai. Seperti Aa Gym bilang di ILC kalau umat islam cuma minta keadilan dan gue rasa semua orang berhak untuk menuntut hal tersebut. Gue juga setuju kalau kelakuan si A ini harus ditindak biar nggak kejadian lagi di masa yang akan datang dan supaya jadi pelajaran juga buat si A untuk lebih berhati-hati kalau mau berbicara. Pas kejadian ini banyak lah ya orang-orang di Facebook gue yang nyinyirnya luar biasa. Sampe ngata-ngatain orang yang ikutan aksi ini bego lah, nggak ada kerjaan lah. Padahal demo itu bentuk dari demokrasi. Tapi ternyata banyak orang yang double standard. As long as demonya berhubungan dengan islam, itu kelakuan yang salah. Lagi, gue setuju sama statementnya Aa Gym kalau ini udah masalah hati nurani. Susah buat orang-orang yang hatinya udah ketutup untuk ngeliat ini semua dari sisi orang yang ikutan 411. Mereka nggak bakalan ngerti bahkan sampe memfitnah dibayar pake nasi kotak segala. Gue tanya tante gue, doi ikut gituan suka rela tuh. Nggak dapet duit ataupun nasi kotak. Menurut gue wajar aja kalau banyak orang yang tersinggung dengan statementnya si A sampe ada aksi sebesar itu. Terlepas apa sebenernya maksud dari si A, karena toh kalimatnya juga ambigu, tetep aja perkataan dia memang sangat memungkinkan untuk bikin hati panas.

Setelah aksi 411 selesai ternyata masih belom ada tindak lanjut dari kasus si A. Akhirnya diadakan aksi lanjutan, yaitu 212. Yang ikutan makin banyak dan aksinya sengaja dipercepat biar nggak ada oknum-oknum yang mencoba rusuh kayak di 411 kemaren. Nyatanya ini aksi tertib banget. Bahkan ampe bikin gue merinding ngelihat orang segitu banyak sholat jum'at bareng di tengah-tengah hujan deras. Tapi lagi-lagi pasti ada aja yang nyinyir. Kali ini nyinyirnya makin jahat. Sama seperti waktu 411 kemaren, nggak cuma yang noni doang yang berkoar-koar. Bahkan yang muslim pun ikutan berkoar. Di situ gue sedih sampe akhirnya gue secara spontan posting di Instagram stories. Gue nggak habis pikir aja makin ke sini rasa persaudaraan antar satu aqidah itu makin lemah. Banyak lho santri dari Ciamis yang jalan kaki ke Monas gara-gara nggak diizinin naek bus. Beberapa orang yang bahkan cacat, buta, rela dateng ke Monas buat ikutan 212 ini. Kalo gue jadi si orang-orang banyak omong ini, gue bakal malu sih. Orang lain yang mungkin terlihatnya lebih rendah daripada kita nyatanya imannya lebih jempolan. Mereka lillahi ta'ala ikut serta ke sana sementara kita cuma bisa mencibir. Mencibirnya di sosmed pula.

Di saat gue kira ini semua udah beres, ehh ada lagi aksi tandingan yang menurut gue terlalu mengada-ngada dan ternyata emang diada-adain. Terus ada kejadian larangan beribadah di Sabuga ITB lah, ngeboykot Sari Roti lah. Facebook gue jadi makin rame orang gontok-gontokan. Pusing...

Tapi terlepas dari kemelut permasalahan agama yang ada sekarang, ada satu yang gue sayangkan. Ini semua sebenernya sangat bisa dihindari sekali. Semestinya nggak perlu terjadi. Gimana caranya? Cukup dengan saling menghargai. Gue muslim, gue liat ada orang yang berbeda keyakinan dengan gue yaa gue biasa-biasa aja. Orang lain mau ibadah ya silahkan aja. Nggak perlu dilarang-larang atau dipaksa buat udahan. Si A baperan merasa disudutin pake ayat. Lah kalo ayatnya yang bilang begitu mau apa? Dihargain kan bisa. Nggak perlu nyinyir-nyinyir di depan warga. Fansnya si A nggak perlu nyinyirin yang demo. Toh demonstrasi itu sah-sah aja.

Tapi emang dasarnya orang kita seneng sih ngomongin orang. Orang muslim yang ngeliat muslim lain tapi ngebir, clubbing, atau makan babi suka banget ngesinisin dan mencoba nasehatin. Nggak akan menyelesaikan masalah sebenernya untuk "nasehatin" dia. Karena pada kenyataannya dakwah yang paling baik adalah dakwah dengan perilaku lo, bukan dengan omongan lo. Yang ada itu orang malah ilfeel karena lo akan terlihat judgemental. Begitu juga dengan orang-orang islam modern yang membangga-banggakan akal dan terlihat alergi sama hal yang keliatannya "islam banget". Yang alim dibilang radikal, nggak modern, budak agama, sok suci. Pokoknya macem-macem deh. Hal itu sih yang gue pelajarin banget selama gue tinggal di luar negeri, menjadi minoritas, tinggal di tempat yang orangnya banyak macem. Bahwa berbeda aqidah, prinsip, dan pendapat itu wajar-wajar aja. Kalau ada orang beda cara mikir ya nggak usah dibawa panas. Nggak perlu dibaperin. Kalo nggak suka ya tinggal dijauhin dan fokus ke prinsip pribadi. Tapi bukan itu yang gue lihat di lingkungan di Indonesia. Orang Indonesia sepertinya anti banget dengan perbedaan. Kalau ada orang beda pendapat sedikit langsung nyalah-nyalahin si orang ini. Ada orang yang prinsipnya beda langsung diomongin. Kalau ketemu orang yang beda keyakinan kayaknya alergi. Bawaannya langsung pengen debat agama kaya Zakir Naik. Jangankan beda agama, beda paham-paham minor urusan ibadah aja bisa jadi bahan ribut. Padahal mah sebenernya ini logika ringan aja sih. Setiap manusia ya pasti isi otaknya, hatinya, cara mikirnya, dan jalan hidupnya udah pasti beda-beda.

Terlihat sekali bagaimana orang Indonesia sangat terobsesi dengan urusan agama orang lain sampe sering lupa sebenernya esensi agama itu apa. Di sini juga baru gue sadar kalau islam itu bukan sekedar pakai pakaian syar'i, sholat fardhu dan sunnah, puasa, atau pun banyak-banyakin hafalan Quran. Islam itu adalah bagaimana caranya kita toleransi sama yang lain. Toleransi itu bukan dengan menyama-nyamakan perbedaan, tapi dengan menganggap perbedaan itu sebagai hal yang biasa. Islam itu kasih. Islam itu kedamaian. Islam itu menghargai setiap orang. Islam itu ternyata luas banget deh. Nggak heran kalau banyak orang bilang islam itu adalah way of life. Tapi yang gue temui orang kita malah fokusnya ke hal lain. Berdasarkan pengalaman pribadi gue orang Indonesia suka banget "menasehati" orang lain. Entah menegur orang lain karena kerudungnya belum sempurna lah, atau karena si orang ini melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama. Padahal kita seharusnya hanya perlu mendoakan supaya si orang ini makin ke arah yang lebih baik, karena cuma sampe situ batas kita. Gimana kita-kita si "islam radikal" ini nggak dicap suka ngurusin hidup orang lain? Ya kelihatannya kita emang suka ngurusin hidup orang lain, sih. Mungkin maksudnya baik kali ya untuk ngingetin. Tapi balik lagi, mengingatkan itu ada normanya. Dakwah itu ada caranya. Berkaca pada diri gue sendiri, gue nggak akan mau hijrah kalo gue "dinasehatin-nasehatin" sama orang. Di Berlin gue nggak pernah lho didakwahin bahkan sama temen gue sendiri. Tingkah laku mereka yang malah bikin gue jadi mikir dan mau berubah. Belum lagi udah tahun 2016 masih banyak orang yang penasaran sama agama orang. Kalo dia islam, kenapa? Terus kalo dia hindu juga kenapa? Apalagi si Paul. Sering banget orang-orang asing di Instagram atau YouTube nanyain dia agamanya apa. Mungkin mereka dapet kepuasan sendiri kali ya? Padahal nggak ada gunanya juga sih di kehidupan mereka. Ngebikin kenyang enggak, bikin jadi tajir juga enggak. Kalo ditegur alasannya pun bikin gue nepok jidat, "Hehehe maklum kak orang Indo suka kepo.". Nah lu tau lu doyan kepo?? Bukannya dibuang itu kepo malah dilestarikan. And let me tell you another thing, cara penulisan latin "Amin" atau "Insha Allah" aja bisa banget dijadikan perdebatan. Kalau untuk orang-orang yang suka debatin hal simple kayak gini nih mereka harus sesekali ke tempat yang muslimnya nggak cuma dari Indonesia. Biar matanya terbuka kalau islam itu ternyata banyak macemnya. Selama masih di ranah Quran dan Sunnah, sebenernya bukan masalah yang besar.

Mungkin ini semua adalah salah satu efek dari sosial media kali, ya. Kita merasa punya hak aja buat mengekspresikan pendapat yang padahal sebenernya omongan tersebut nggak pantes untuk dilontarkan. Bahkan untuk hal-hal yang kiranya udah memasuki ranah privat kayak political preference misalnya atau juga mengenai agama. Dan attitude tersebut akhirnya terbawa ke dunia nyata. Attitude "berbicara tapi tidak mau mendengar" dan "tidak menghargai orang lain". Padahal kalau dipikir-pikir nggak sulit juga sih buat sama-sama kalem. Nggak usah ngomporin satu sama lain, nggak perlu merasa bener atau merasa salah, nggak usah ngomongin hal-hal yang sensitif yang kiranya bisa nimbulin keributan. Tapi mungkin kalau emang dasarnya mulutnya nggak bisa dijaga yaa susah, sih.
Share:

11/26/2016

Menjadi Seorang Introvert

Ketika gue lagi scrolling down comment section salah satu video YouTube gue, gue menemukan satu komen yang menarik.



Yes, I am an introvert. Untuk orang-orang yang tau kalau gue adalah seorang introvert mungkin mereka bingung melihat bagaimana gue mem-portray diri gue di sosial media. Terutama di video-video gue. Di mana gue terlihat tidak memiliki kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang. Firstly, I can tell you that I'm not an ambivert. Gue masih seorang introvert seperti gue dulu, gue masih lebih nyaman 3 hari nggak keluar rumah, gue masih suka males ngangkat telefon, gue masih suka menunda-nunda bales chat orang, dan gue masih tergolong dalam geng INTJ female. Untuk yang nggak tau apakah itu INTJ, INTJ adalah salah satu dari 16 Myers-Brigg traits yang ada pada manusia. Fyi, cewek INTJ adalah yang paling rare. Di dunia ini cuma ada 1% dari kami. INTJ sendiri adalah salah satu trait yang paling jarang dan hanya terdapat 3% dari seluruh populasi di dunia. Isaac Newton was an INTJ. Begitu juga dengan Stephen Hawking, Mark Zuckerberg, dan Elon Musk.

Menjadi seorang INTJ yang bergelut di sosial media dan dunia maya secara umum adalah hal yang nggak mudah. At least buat gue. Tiap hari gue bertemu dengan berbagai macam kebodohan yang dilakukan orang di internet, such as asking obvious question to being a plain idiot and left me completely speechless. Stupidity is one of my biggest pet peeves. Just stupidity in any form. I got cancer whenever I see people on the internet, especially Indonesians, who are mostly shallow and ignorant. Berita-berita hoax bisa jadi bahan berantem di Facebook, hal-hal nggak penting bisa jadi bahan omongan di Instagram, komen-komen nggak penting bisa aja dikomenin di YouTube. The struggle becomes more real because keeping my mouth shut all the time is the only choice I have. But if you see some things from me that you don't quite understand or you think I'm too mean, too blunt, too arrogant, too this, or too that. It's because of my personality trait.

Ketika gue menutup diri untuk berteman dengan orang Indonesia aja (karena dulu gue berpikir berteman dengan orang beda kultur itu exhaustion. Di mana gue, yang nggak minum dan nggak party, harus ikutan bergaul ala mereka), I've never seen myself fit in any circle. Lingkaran pertemanan terbaik yang pernah gue temui ya cuma temen-temen deket gue sejak SMA. Terbaik dalam hal bebas drama, bebas tipikal pertemanan wanita yang haha-hihi dan nongkrong cantik, dan bebas hal-hal pretentious dan superficial. Di situ gue merasa gue bisa menjadi the realest version of myself. I'm not afraid to sound mean, cold, not interested, or not care. Karena mereka tau gue memang nggak pandai mengekspresikan perasaan gue, gue nggak bisa yang bubbly peluk-pelukan dan miss you-miss you-an sama temen gue, dan nggak suka yang selalu melakukan percakapan yang nggak bisa bikin gue jadi pinter a.k.a cuma gosipin orang. Sampai lah gue di momen di mana gue harus pindah negara. Pindah negara berarti lingkungan baru, orang-orang baru, cara bersosialisasi yang baru. I did find some inspiring people, whom I like to have conversation with. Karena setiap ngobrol sama mereka gue belajar hal baru, obrolannya positif dan berfaedah, dan yang pasti membantu gue untuk tumbuh. Tapi banyak juga lingkaran atau orang-orang yang gue temukan, yang terlalu mengada-ngada. Semua hal yang dilakukan dan obrolannya mengada-ngada, cuma ketawa-ketawa, nggak ada maknanya, kosong, dan bikin bosan. Di situ lah gue merasa muak dengan manusia dan memutuskan untuk masuk lagi ke kandang. Sesekali gue keluar rumah untuk ketemuan sama orang yang kiranya worth waktu gue. Itupun gue lakukan karena otak gue butuh ngobrol dan diskusi 4 mata. Pada saat itu banyak yang menyebut gue manusia goa, karena gue jadi jarang keluar rumah dan jarang kelihatan. Because at that time people I met so far didn't impress me.

Lalu gue tiba-tiba terpikir untuk mencari lingkaran lain selain temen-temen Indo ini. Untuk menghilangkan kebosanan ini mungkin gue harus lebih terbuka dengan orang baru. This time I tried to open up to people with different cultures. I did really well tho. I went to some events and places alone dan di sana gue kenalan sama orang-orang. Dan perkiraan gue nggak salah. Beda kultur = beda mentalitas = beda latar cerita. Beda = sesuatu yang baru = bosannya hilang. Yeayy... Sekarang gue bersemangat lagi untuk bersosialisasi. Akhirnya gue pun makin sering pergi sendirian dan kenalan sama orang lain. Bahkan gue sampe ikut pertukaran pelajar segala demi buat ketemu orang baru. Makin gue encounter social situation, makin gue sadar kalau ternyata introversion ini bisa gue situasikan. Sekarang gue jadi makin bisa untuk nge-switch kapan gue harus introvert dan kapan gue harus outgoing. Gue juga jadi mengerti kalau gue nggak semata-mata malu atau susah bikin teman, tapi ternyata gue males kalau bertemannya cuma begitu doang. Buktinya ketika gue ketemu orang-orang ini, yang bisa gue ajak ngobrol panjang dan berat dari A sampai Z, gue merasakan kepuasan dan kegembiraan yang mendalam karena akhirnya gue nggak usah lagi memakai topeng pura-pura goofy, pura-pura warm, pura-pura sering ketawa, pura-pura jadi tipikal cewek rempong. Apparently I can be myself when I'm with the right people and I'm willing to socialize with them. Gue selalu dapet insight baru ketika bertukar pikiran dengan mereka, karena latar belakang kultur kami yang berbeda. Gue bisa mencoba untuk relate ke mereka karena mereka punya fokus berbeda dengan gue. Intinya adalah gue bisa banyak belajar tentang manusia.

Anyways, ketika lo melihat gue nyaman ngobrol dan bergaul dengan orang lain. Itu berarti gue sedang bersama orang-orang yang tepat :)


Share:

11/16/2016

What Happened in The Netherlands Stays Forever

Seperti yang gue kasih tau di Instagram beberapa waktu lalu, tanggal 3 November-11 November gue ngikut pertukaran pelajar Erasmus+ lagi. Kali ini topiknya adalah project management dan diselenggarakan di Reijmerstok, sebuah kota kecil yang terletak di deket Maastricht, Belanda. Buat yang penasaran youth exchange-nya gratis dan dari akomodasi sampe transportasi semua ditanggung oleh pihak Youth for Mobility. Sebenernya alasan gue dua bulan berturut-turut ikut exchange adalah satu, gue ngerasa selain dapet pelajaran hidup dan ijazah kuliah, setelah gue selesai bachelor nanti masih banyak yang nggak gue dapet. Karena gue kuliah kimia murni mahasiswanya dituntut untuk bener-bener jadi nerd karena harus belajar melulu. Buat gue itu bukan lah kondisi yang ideal, di mana gue akan menjadi orang yang selalu berkutat sama sains dan nggak punya social skills. Mungkin buat orang lain sebenernya fine-fine aja, tapi gue merasa gue butuh dapet inspirasi dari orang lain untuk gue jadikan bahan berpikir karena gue orangnya sangat observatif. Gue butuh ketemu orang yang bisa gue ajak untuk bertukar pikiran dan untuk nambah-nambah referensi. Hal-hal tersebut sayangnya nggak gue dapatkan di kampus.







Orang-orang yang kali ini gue temui keren-keren. Mereka dateng dari UK, Polandia, Belanda, dan Jerman. Tapi nyatanya grup nya lebih multikulti lagi. Ada dua orang dari Syria yang adalah refugees, satu dari Yaman, satu dari Jordania, satu dari Bulgaria, Prancis, Romania, Pakistan, Zimbabwe, dan terakhir gue, dari Indonesia. Selama pertukaran pelajar gue banyak ngobrol sama temen gue Ali, dia adalah salah satu refugees dari Syria. Ali ini dari Aleppo, kota yang paling sering dibombardir sama Russia. Karena gue penasaran dengan apa yang sebenernya terjadi gue banyak nanya-nanya ke dia. Kadang dia ngerasa bosen mendengar pertanyaan gue. Dia bilang udah beratus-ratus orang yang nanya hal yang sama ke dia. Ternyata bener yang kita liat di media. Ali dateng ke tanah Eropa bersama dua adik laki-lakinya naik perahu karet, bawa duit 7000 Euro yang dia simpen di dalem celananya, di perbatasan dia bersama beratus ribu pengungsi lain harus jalan berkilo-kilo untuk sampai ke negara selanjutnya, dan sama seperti pengungsi lainnya sebelum revolusi terjadi dia punya hidup yang sangat normal. Apartemennya di Aleppo bagus, ayahnya adalah seorang pebisnis yang berdomisili di Guangzhou dan punya bisnis lain di Filipina. Ketika kami sedang ngobrol tentang masalah ini, dia berkata sesuatu yang nggak akan pernah gue lupain.

"I've never once imagined in my whole life that I'd be a refugee."

Selain itu dia bercerita gimana hancurnya kotanya sekarang. Setelah dibom, di pagi harinya dia biasa ngelihat mayat-mayat atau body parts yang nyangkut di lampu jalan. Sekarang orang-orang yang tinggal di sana udah nggak bisa menjalani hidup mereka secara normal lagi. Yang mereka lakukan hanyalah berusaha untuk bertahan hidup. Tapi kata Ali yang paling menyedihkan adalah setiap kali jet-jet perang terbang di atas Aleppo dan anak-anak kecil ketakutan. Ali nggak tega ngeliatnya.

Ada satu refugee lagi dari Syria, Achmad namanya. Kami berdua sempet berbincang mengenai gimana sulitnya jadi muslim di Eropa. Dia yang baru 10 bulan menetap di Belanda kayaknya masih belum terbiasa dengan bebasnya kehidupan di sini. Selain itu dia juga ngeliat masalah beragama bukan cuma ada di luar islam aja, tapi di dalem juga. Kata dia, dia nggak suka ngeliat banyak komunitas islam atau masjid di deket tempat dia tinggal yang terlalu tertutup dan nggak bisa berintegrasi dengan masyarakat luar. Dia juga nggak suka ngeliat banyak muslim Arab yang merasa lebih alim hanya karena mereka orang Arab. Dan yang paling dia nggak suka adalah khotbah di masjid yang lagi-lagi adalah tentang politik. Rupanya di Syria khotbah di masjid itu udah dipesan sama pemerintah dan harus membicarakan tentang politik. Learnt something new everyday.






Karena yang ikut pertukaran pelajar biasanya orang-orang yang punya awareness besar terhadap isu-isu yang mereka peduliin, berada di lingkungan positif kayak gini bikin gue lagi-lagi makin banyak mikir. And I don't mind that at all. Lagi-lagi gue merasa gue juga harus punya sense untuk berkontribusi dan giving back ke komunitas gue. Lagi-lagi gue merasa gue juga harus peduli dengan apapun di sekitar gue. Entah itu politik, sains, sosial. Karena kalau gue tutup mata, siapa lagi yang akan peduli? Siapa lagi yang akan turun tangan?

Seperti yang kita tahu, mengelilingi diri dengan orang-orang yang open-minded, yang positif, dan yang bisa ngasih kita boost of confidence and motivation itu perlu. Karena lingkungan kayak gini bisa selalu nyadarin kita kalau bumi itu luas dan masih banyak hal yang harus kita explore. Nggak cuma sesekali, tapi setiap kali kita ada kesempatan.




Share:

10/24/2016

Life On The Other Side of The World

As seen on Jawa Pos/zetizen.com




Di program pertukaran pelajar yang gue ikutin beberapa minggu lalu, gue bertemu dengan banyak anak muda dari tujuh negara di Eropa. Ada satu orang yang menurut gue sangat inspiratif, karena pilihannya untuk menjalani hidup yang tidak lazim seperti kebanyakan anak muda seumurnya. Namanya Elias Escribano. Dia berasal dari Spanyol dan berumur 25 tahun, hanya setahun lebih tua dari gue. Orang berumur 25 tahun lainnya mungkin sedang disibukkan dengan deadline kantor ataupun deadline tugas studi S2 mereka, tapi itu tidak berlaku bagi Elias. Di umur segitu dia memilih untuk bekerja selama setahun mengumpulkan uang, karena dia bercita-cita untuk keliling dunia, cita-cita yang kayaknya nggak mungkin. Republik Ceko, tempat kita bertemu pertama kalinya, adalah negara kesekian dari 32 negara lainnya yang akan dia kunjungi. Yang lebih istimewa lagi dia jalan-jalan pakai sepedanya yang dia beri nama Penelope. Sewaktu gue tanya kenapa dia ngelakuin ini, dia cuma jawab, "I just feel like I need to.". Selain dia bercerita tentang gimana dia bisa survive ngejalanin ide gila ini, tentang perlengkapan apa aja yang dia bawa, tentang bagaimana dia harus bermalam ketika lagi di tengah-tengah perjalanan, dia juga bertanya ke gue seperti apa Indonesia, orang-orangnya dan gimana caranya dia bisa menyebrang dari satu pulau ke pulau lainnya. Iya, Indonesia juga akan menjadi destinasi dia dan gue pun nggak melewatkan kesempatan untuk bragging ke dia tentang kuliner dan pemandangan alam negara gue yang sangat gue banggakan itu.

Dari Elias gue juga banyak banget mendengar cerita tentang orang-orang di negeri seberang sana yang belum pernah gue temui atau dengar sebelumnya. Mungkin karena setiap dia sedang melancong ke negeri lain, dia selalu berusaha untuk berinteraksi dengan penduduk lokal, despite bahasa inggris dia atau bahasa inggris orang lokal tersebut yang limited. Rasa penasaran gue pun makin membludak dan kepala gue jadi terisi dengan banyak pertanyaan. Maklum, gue sangat tertarik dengan orang-orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa berbeda dan yang memiliki budaya yang berbeda, sama seperti Elias. "Pernah nggak lo merasa nggak bisa relate dengan suatu kultur dan merasa sangat asing di tempat tersebut?" tanya gue. Dia bilang, "Di beberapa tempat di bagian timur Eropa gue merasa orang-orangnya dingin dan kurang ramah. Tapi walaupun begitu, di semua negara yang pernah gue kunjungi gue selalu bertemu dengan orang-orang yang baik-baik banget, yang ramah, despite stereotip yang ada.". Elias ini tau banyak tentang kultur dan budaya. Ya, karena hobinya jalan-jalan, ternyata dia ini lulusan antropologi. Nggak cuma itu, dia juga tau banyak tentang isu-isu dan masalah politik yang lagi happening nggak cuma di negara dia.

Beberapa kali ngobrol panjang lebar dengan dia membuat gue jadi banyak self-reflect tentang apa yang sudah gue lakukan, apa yang sedang gue lakukan, dan apa yang akan gue lakukan. Butuh keberanian super besar untuk memulai hal yang gila seperti ini. Meninggalkan kehidupan normal, jalan-jalan, ketemu orang baru, dan menghadapi situasi yang baru. It's scary I know. Keluar dari zona nyaman dan menjalankan hidup yang berbeda dengan pattern yang ada itu menakutkan. Tapi melihat temen gue ini, keliling dunia memang bisa menjadi life-changing experience. Karena memang melangkahkan kaki ke luar "rumah" bisa membuka pikiran kita. Bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang baru juga bisa memberi insight yang baru, dan yang pasti akan ada banyak life lesson yang bisa kita dapatkan. Yang lebih penting adalah hal kayak gini bisa jadi wake up call buat kita, kalau hidup itu bukan cuma tentang saya, saya, dan saya. Ternyata ada banyak permasalahan yang terjadi di dunia, nggak cuma yang terjadi di hidup personal kita. Gue mengambil contoh sebelum gue tinggal di Jerman. Ketika gue masih di Jakarta dulu, gue nggak pernah terpikir kalau ternyata hidup sebagai seorang muslim di luar negeri itu bisa lebih sulit. Gue nggak pernah terpikir kalau rasialisme itu adalah topik pembicaraan yang nyata di sini. Berbeda banget dengan ketika dulu gue tinggal di lingkungan yang homogen. From that I learned not to take my religion for granted. Begitu juga ketika gue ngobrol dengan anak-anak muda Eropa di pertukaran pelajar kemarin. Mereka dengan casual-nya membicarakan tentang peran Uni Eropa dan bagaimana masing-masing negara mereka mengurusi permasalahan yang lagi hot sekarang ini, masalah gelombang pengungsi. Lagi, ternyata ada banyak permasalahan yang sebenernya harus dijadikan perhatian juga, bukan cuma merhatiin hidup personal kita aja. Jika gue tidak memutuskan untuk merantau, mungkin gue nggak akan pernah tau kalau hal tersebut eksis.


Selagi masih muda menurut gue paling nggak sekali merantau itu perlu. Melihat dunia itu perlu untuk membuang rasa ignoran dan menumbuhkan kepedulian, nggak cuma untuk diri kita, tapi juga untuk orang lain. Di jaman sekarang hidup makin sulit. Dunia ini kurang lebih seperti yang digambarkan di film Hunger Games. Nggak bisa lagi kita berempati dengan sesama, karena yang harus diprioritaskan adalah diri kita. "Lo-lo, gue-gue.". That's how I feel about the modern world. Gue sangat mengapresiasi kalau masih ada anak-anak muda seperti Elias ini, yang masih mau untuk bergerak dan keluar dari tembok rumahnya. Melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa sebenernya kehidupan di sisi dunia yang lain, bukan cuma melihatnya melalui media mainstream. Masih mau untuk bertukar pikiran dengan orang lain yang berbeda bahasa ibu, supaya bisa melihat sesuatu bukan dari kacamata sendiri. Pertanyaannya adalah apakah kita berani untuk bergerak seperti dia?
Share:

10/17/2016

Kepada Rasulullahku Tercinta

Apa yang sedang terjadi di Indonesia gue tercinta cukup membuat hati gue sedih. Sedih karena ternyata banyak banget orang islam yang nggak bangga dengan keislamannya, yang malu dan bahkan ngerasa kesal melihat saudara seimannya membela kitab sucinya. Orang yang berjuang untuk Allah dan Rasulnya itu terlalu radikal dan narrow-minded katanya. Gue sedih karena ketika Rasulullah ditarik nyawanya oleh malaikat maut, yang beliau pikirkan hanya umatnya. "Yaa ummati... Yaa ummati... Yaa ummati." Begitu cintanya dia dengan kita, tapi kita terlalu malu untuk menjungjung tinggi agama kita. Kita terlalu malu untuk menjadikan Quran dan sunnah sebagai pedoman kita. Quran itu bebas tafsir katanya. Islam itu harus mengikuti zaman, bukan zaman yang mengikuti Islam katanya. Terlalu religius itu kolot katanya. Hidup dan mati Rasulullah hanya untuk tuhannya, untuk umatnya, untuk menegakan agama ini hingga akhirnya kita bisa berislam sebegini nyamannya. Tapi lihat kita sekarang? Tidak setitik debu pun kita melanjutkan perjuangan beliau. Malah kita berusaha menutupi kehidupan islam kita rapat-rapat. Urusan agama hanya untuk disimpan oleh diri-sendiri. Privasi katanya.

Yaa Allah, tolong bukakan selalu pintu maaf kepada kami dan tolong bukakanlah pintu hidayah kepada orang-orang yang merendahkan agamaMu yang mulia ini.

Yaa Allah, tolong lembutkan lah selalu hati kami agar kami selalu bernafas untukMu dan selalu ikhlas berjuang di jalanMu.

Yaa Rasulullah, maaf jika kami belum bisa membela agamamu sebagaimana engkau membela islam dahulu.

Maaf jika setelah kepergianmu kami bukannya bersatu, tapi malah bercerai-berai tidak peduli dengan nasib sesama.

Maaf jika setelah kepergianmu kami malah malu meneriakkan takbir, malu menjunjungmu, malu memuji namamu, dan malu hidup melangkah dengan nafas dan prinsip agamamu.

Yaa Rasulullah, sungguh beruntungnya sahabat-sahabatmu, pengingkut-pengikutmu, dan orang-orang terdahulu yang dapat melihatmu, yang dapat sholat bersamamu, yang dapat mendengarkan khutbahmu.

Walaupun kami tidak pernah bertemu, 

kami rindu dirimu, yaa Rasulullah.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Dear beloved prophet
Today at school, the teacher asked us to draw you
I like to draw, but I never saw you
So I closed my eyes
And I saw a tear in the eye of my mother while reading your story
I saw my father praying all night
I saw my elder sister smiling, even though she just got insulted in the street
I saw my best friend asking me for forgiveness, even though I was to blame
I want to draw all these images
Here, people want to see everything, to watch everything
But I closed my eyes
And I saw you coming towards me
I saw you coming towards us
With the most perfect smile
How could I ever draw a perfect smile?
The teacher did not let me speak when I wanted to explain to her
I can't blame her
She probably never learnt to love someone she doesn't see
But me, I love you without seeing you
I am not good at drawing but I like to write
I like to write to you, yaa Rasulullah
If you could only come back amongst us for a few hours
a few seconds...
a few moments...
She could understand eventually


Share:

9/22/2016

Why Not?

Tanggal 19 September kemaren gue baru aja balik dari Stradonice, Czech Republic. Selama 8 hari gue ikut pertukaran pelajar dari Erasmus+. One gorgeous friend of mine, Caro, who comes from Spain wrote about this amazing experience that we had:


WHY NOT?

It was a sunny day in Prague. Charles bridge was crowded and Czech people were drinking beers as always. Then, in the middle of the happiness, the phone rang. It was Vladimir and his driving style.

After a long way to Klamovka, the battle to choose the best bed started. It was warmer than everyone thought before arriving to Czech Republic, and everybody tried their best to make the other feel at home. When most of the people were having dinner, a guy that was shouting ‘I am an astronaut’ came as a representation of Germany. Actually, he is Spanish and he came by bike, Penelope. But it was not the only strange thing in the German group, if you can call it German... Two Indonesians, two Turkish, a Spanish and a German were in the group. That’s Europe!

After two hours, the Portuguese and the Spanish made necessary the big rule: BORA-BORA. But you know, latin people don’t care too much about rules. ‘Joder’. During the first game of the project, when everyone just had met each other for one hour, love arrived. The latin lips of Cisco fell in love with Mike’s ass, but the Cypriot was already kissing Marcelo. People wanted to know Stradonice, so some of them went to explore and met the whole population of the village: two people. Maybe not too many, but well enough to know how Czech people are. No expression, no smile, no emotions, no nothing. They can say ‘I love you’ with the same face than ‘My cat is dead’. Soon, they also knew the special kindness of the Czechs. 10% for Tips because of the good service and all the chips”. And remember “If you want to go, you can go, there are so many cheap hostels in Prague”. (Vladimir accent) But not all of Czech people were like these, the amazing Andy came to break stereotypes.

An unforgettable experience was starting. It doesn’t matter if there was no water for two days, because everyone smelled as pigs, so there was no problem with social relations... Even if none could put their hands up. And please do not forget about the food: the chicken that everybody was searching but nobody found.

Some parties later, there was already a ranking of party animals: 1. Portuguese, 2. Spanish, 3. Cypriot, plus Arthur and Kuba. Anyway, the hangover was never a problem to do the activities, even when nobody could speak because Mike was late for half an hour. Of course, alcohol was one of the ingredients: palinka, sangria, rakie, zivania, wine... Can you guess which one was the strongest? PALINKA.

But party is not only alcohol, it was also time to share different music, dancing and life styles. Mixing cultures, even when the Polish songs were played and only Polish people were dancing.
As in every international project, languages were something funny. A Spanish trying to speak Polish, or a Indonesian trying to say something in Portuguese, or a word with different meanings in different languages. Like ‘servilleta’, that means napkin in Spanish, and compress in Cypriot.

Do not forget ‘love’. Not only the couples made from the beginning, kissing each other when nobody saw them. That connections built just two days after meeting. But love is also something more than couples. It is the smile of Gita, the respect of Selam, the humour of Elias, the cheerfulness of Arthur, the passion of Marvin... Love is the paradise created in Stradonice during these days. Even if someone could not speak English, even if a conversations needed to be slower. It is tolerance, respect and generosity. Love is the way the concert was done yesterday.
We learnt how to make bracelets as well with Juanma as an amazing teacher, the free-soul supreme leather. “From the back to the back, from the front to the front, from the back to the front, to the back to the front, and do not forget the middle”. A new life style was created these days, a way of living when it does not matter where you are, the time, the country you are coming from or your religion., when you live the moment. Let’s be free souls.

Breaking stereotypes or confirming others during the whole week, knowing each other deeper and deeper, making friends forever, the project was coming to his end. After this, everyone takes an incredible experience to home. How many times in life will you have in your own room a concert of two Polish and a Spanish guy? How many times will you have dinner together with a girl from Indonesia, a rapper from Germany, and a half Romanian half Cypriot like the unforgettable Diana? How many times will you have a deep conversation with the different views of countries from Asia, South, North and Central Europe?


Imagine there is no heaven
It is easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people living for today.


The sense of community built during the week was represented in the final performance: a final picture of different cultures, different life styles, tolerance, respect, curiosity and a big aim of sharing. Everything, finishing with a exciting song as ‘Imagine’. Love is creating. We have created connections, moments, feelings and values. We did magic. We have created music.

Close your eyes and try to remember every moment here. Just a few minutes to think on what we created.


MUSIC

Can we go back to Sundays 11st? Why not? 

Share:

8/20/2016

Generasi Salah Fokus

Udah sekitar lima bulan ini gue aktif mengunggah video-video di YouTube. Ini semua diawali dengan kegerahan gue terhadap vlog-vlog yang lagi ngetrend jaman sekarang, yang rata-rata isinya bisa dibilang nggak lain dan nggak bukan hanyalah nongkrong-nongkrong bareng temen dan sesekali mengeluarkan kata kasar. Kenapa gue bisa gerah? Karena yang nonton banyak dan rata-rata penontonnya adalah anak sekitar belasan tahun, yang lagi mencari jati diri dan lagi labil-labilnya. And after watching these vlogs they'll be having this understanding that "cursing is cool" or nongkrong-nongkrong mulu itu gaul. Kemudian mereka akan merongrong orang tuanya yang (mungkin) duitnya pas-pasan buat beliin barang-barang mahal, karena "idola" mereka punya gaya hidup yang seperti orang kaya. I can go on and on and on. Saban hari salah satu temen gue bilang, "Yang gitu-gitu harus kita perangi dengan karya.". I agree 100%. Emang nggak akan ada habisnya kalo kita cuma complain dan ngeluh tentang how crappy their videos are, how low the quality of the content is, or how bad they are influencing the young indonesian teenagers through their lifestyle, karena mereka akan tetap dengan gaya hidup mereka yang masih kecil terus udah minum alkohol dan ngerokok, they will still be making that kind of videos and keep earning money from the ad views on YouTube. Unfortunately your worry isn't their concern. As I know they're as selfish as they can be. So the least I can do is membuat video yang sekiranya lebih baik dari segi kualitas dan isi. That's why I decided to also take part of this whole "vlogging phenomenon". I want these teenagers to at least have a choice, or at least have comparison. They can choose what kind of videos they want to watch. Bukan cuma video yang nggak mendidik, tapi video yang bisa ngasih positive impact ke mereka. Because at the end of the day penonton berhak untuk dikasih konten yang bermanfaat.

After these months of constantly putting out contents and interacting with the Indonesian viewers, there's something that draws my attention. Bukan cuma content creatornya yang menghasilkan vlog-vlog yang kurang mendidik, tapi ternyata penontonnya juga kurang siap untuk dikasih konten yang mendidik. The people on the internet love to focus on things that don't need to be focused on. Bisa dibilang konten video gue nggak kosong-kosong banget. Ada satu dua hal positif yang gue tawarkan di video gue. Ketika gue mengunduh video tentu aja gue dapet komentar-komentar dari yang nonton. Dan nggak jarang komentar yang gue dapetin malah yang di luar konteks video tersebut. Entah tentang alis gue yang kata mereka kurang tebel atau tentang gue yang kata mereka aneh karena pake baju itu-itu doang, atau bahkan ada beberapa orang yang dengan ignorannya pointing out muka cowok gue yang kata mereka kurang ganteng. Ada sedikit kekecewaan yang gue rasain kalo gue encounter hal-hal seperti ini. Gimana ya, I expect something more from these people. Karena lewat video-video ini gue melempar narasi yang jarang orang gandrungi. Ketika banyak orang lebih memilih untuk ngomongin temennya atau gosipin orang di Instagram, gue "mengajak" mereka untuk ngomongin hal-hal positif dari Jerman, negara yang gue tinggali sekarang, yang mungkin bisa dibandingin sama Indonesia dan mungkin bisa menjadi trigger bagi mereka supaya bisa bikin Indonesia jadi lebih baik. Pernah juga gue ngomongin tentang berkerudung di Jerman dan gimana temen gue dan gue berislam di sini, yang ternyata mengubah pandangan gue terhadap agama gue sendiri. Tapi lagi-lagi respon yang gue dapat cuma seputaran muka gue, tepatnya--yang mereka anggap sebagai--kekurangan dari muka gue. I guess I should've not expected anything in the first place.

Let me start off with one thing I've been questioning the whole time. Bukankah akan terpikir dengan sendirinya ketika kita ingin berbicara sesuatu atau melontarkan isi otak kita, lalu kita bertanya kepada diri sendiri, "Penting nggak sih omongan gue?". Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan selanjutnya, "Kalo gue ngomong gini dia tersinggung nggak, ya?". Lalu muncul pertanyaan lainnya, "Emang harus banget ya dia tau isi otak gue?". Terutama ketika isi dari uneg-uneg yang ingin kita lontarkan itu nggak seberapa atau bahkan sama sekali nggak ada, bukankah thought process-nya akan lebih panjang lagi? Gue pribadi nggak tau kapan dan gimana asal-mulanya. Tapi mungkin ini semua berawal dari budaya orang kita yang seneng gosipin orang lain, yang seneng pointing out kesalahan atau kekurangan orang lain, dan ngelakuin hal tersebut hanya untuk kepuasan diri. Lalu jaman sekarang muncul social media platform di mana kita bisa being totally anonymous commenting on someone's video or photo, yang tentunya makin menggelitik kegemaran kita akan ngejelekin orang. Either destructive or constructive people somehow have this urge of "I must putting my statement out there.". Dan keberanian mereka untuk berbicara hal negatif ke orang lain di sosial media semakin bertambah, karena toh mereka nggak berhadapan langsung sama orang yang dijelek-jelekin. Tapi menurut gue rela cape-cape nonton video orang lain yang nggak mereka kenal, lalu mengevaluasi visualnya dia, terus dilihat mana kurangnya, setelah itu ngetik komentarnya, butuh effort yang gede banget. Of course, for something that useless, giving that much of effort is also useless. Tapi ternyata orang kita rela-rela aja tuh. Selama dapet kepuasan, kenapa nggak?

Sampai detik ini gue masih belom bisa memahami obsesi orang kita terhadap penampilan orang lain. Entah kalo dia cantik, gendut, kurus, alisnya ketebelan, alis ketipisan, hidung gede, telinga caplang. Apapun bisa jadi sasaran. Moreover, what makes they think pointing out someone else's facial feature on the internet is something they're allowed to do? What's with this obsession of telling someone (you don't know), "Dude, your eyebrows are too thin.", "Your nose is huge.", "Why did you draw you eyebrows that thick? They don't look natural.". Padahal si orang yang mereka ribetin ini fine-fine aja sama mukanya dia. Gue cuma bisa berharap, kalo orang kita kelak bisa lebih kritis dalam ngelakuin semua hal. Kritis dalam hal-hal yang mereka lakuin dan lebih memilih untuk mengerjakan hal yang berfaedah. Gue juga masih punya harapan, kalo orang kita nantinya tidak terlalu fokus ke penampilan luar dan lebih fokus ke kepribadian dan isi otak orang, siapapun itu. Because at the end of the day penampilan itu cuma yang kita liat pake mata, sementara isi dan esensi itu dua hal yang utama. Karena menurut gue pribadi budaya ini akan makin kompleks kalo dibiarin terus-terusan. Akan makin terpaku di dalam mindset orang kita kalau appearance itu lebih penting, looking good in front of others dan pencitraan lebih penting, lalu kita jadi kelewatan poin penting yang beneran penting, kayak yang gue bilang tadi. Korea contohnya. Hampir semua cewek operasi plastik. Kelopak matanya digedein lah, hidungnya dibikin mancung, atau rahangnya lah dipotong. Gara-gara apa? Gara-gara social pressure-nya gede. Semua orang constantly judging each others' appearance. Ada standard of beauty yang terlalu ekstrim di negara itu yang bikin mindset orang-orang jadi rusak. Iya, gue bilang mindset kayak gitu rusak. Karena itu bisa bikin kita lupa kalo yang paling penting itu gimana kita menjadi individu yang baik, yang memperlakukan orang lain dengan baik, yang berkelakuan baik, dan yang menyebarkan hal-hal baik.
Share:

5/19/2016

Life is Not A Race

Lo tau gue sekarang lagi di mana? Gue sekarang lagi di Pausenraum a.k.a ruang istirahat laboratorium kimia anorganik kampus gue. Kenapa gue bukannya ke lab, tapi malah nulis blog? Soalnya eksperimen gue mesti dipanasin sampe jam 6 sore dan nggak bisa gue tinggal pulang. Karena dengan bodohnya gue nggak bawa headset, gue jadi nggak bisa nonton YouTube. The only thing I can do right now is writing blog.

So here I am.

Sekitar seminggu yang lalu gue ke Sate Siomay atau disingkat SASO. SASO ini adalah acaranya anak IWKZ yang bertujuan untuk ngumpulin dana buat bikin mesjid sendiri, karena basically tempat yang sekarang berfungsi sebagai mesjid nggak cukup besar buat ngelakuin kegiatan-kegiatan keagamaan. Nggak di Indonesia, nggak di Jerman, bikin mesjid itu lagi-lagi sulit. Lagi-lagi mesti minta sumbangan sama orang, lagi-lagi lama terealisasinya. Dulu gue pernah denger cerita Paul tentang orang-orang tajir di GBI Jakarta yang bisa provide finansial sampe harga mikrofon worship leadernya aja berpuluh-puluh juta. Wie schön.
Sebenernya bukan itu yang pengen gue omongin. Yang menarik adalah gue ketemu anak S3 domisili Dortmund yang lagi main ke Berlin. Umurnya kalo nggak salah 27 tahun dan kita ngobrol-ngobrol dikit lah. Lalu sampailah dia pada pertanyaan "Umur lo emang berapa, Git?". "Gue 24 tahun", jawab gue. "Sekarang lagi S2?", dia tanya lagi. "Nggak, gue masih S1.", jawab gue sembari quickly jump ahead to their point and processing my adequate level of response. That's typical INTJ by the way. 
Anyways, sampe mana kita tadi? Ah, iya. I was like, "This question again. The same explanation again. I am bored.". Gue pun memilih respon yang singkat, nggak panjang-panjang. Buat apa juga panjang-panjang. Then I said, "Kuliahnya susah."

...

Beberapa minggu belakangan ini gue banyak ngeliat foto temen SMA gue nikahan. Kebetulan sekarang emang lagi saatnya anak 90, 91, 92, dan 93 buat naik pelaminan. Dan temen-temen gue rata-rata anak 91. Terus temen gue yang di sini juga ada beberapa yang--entah bercanda atau serius--nyuruh-nyuruh gue buat nikah. Not once, but to the point that it annoyed me so much.

This whole thing got me thinking, apakah poin dari kita hidup adalah untuk cepet-cepetan ngelakuin sesuatu? Kenapa juga kita mesti cepet-cepetan ngelakuin sesuatu? Cepet-cepetan achieve sesuatu? Dan kenapa kita harus ngikutin pattern yang udah ada, yang udah dilakuin sama orang-orang sebelum kita? I am 24 now. Apakah gue seharusnya sudah lulus kuliah? Apakah seharusnya sekarang gue udah jadi orang kantoran? Apakah sekarang seharusnya gue udah sibuk ngurusin vendor buat nikahan? Terus salah kalo gue belom ngelakuin semua hal tersebut? Salah kalo gue masih berurusan dengan perkuliahan S1 gue? Salah kalo gue belom jadi orang kantoran, walaupun gaji gue lebih besar dari orang kantoran di Jakarta? Ngomong-ngomong, siapa sih yang awalnya mengharuskan begini dan begitu seorang individu? Siapa sih yang awalnya ngebuat sistem ini?

I was that kind of person, who planned everything from A to Z. Who said, "Umur 21 tahun gue udah lulus kuliah, terus gue bisa dapet kerja. Abis itu gue nikah and so on.". After learning that what you want isn't necessarily what you'll get in a hard way, I now know that life isn't a race with everybody else. Life is a place to learn and eventually you will gain something, achieve something. But the whole point of living is to learn. Seseorang pernah nanya ke gue, jika gue bisa muter-balikin waktu apakah gue mau memilih jalan yang lain, which is nggak ke Jerman dan hidup gue pun akan berjalan "tepat waktu". My answer was a no and still a no and will always be a no. Karena gue tau betapa banyak pelajaran yang gue dapet di sini, yang bikin gue bisa kayak sekarang. Dan karena gue tau gimana nggak bangetnya mental gue kalau gue memilih untuk stay di Indonesia. Let's say me living in Germany has changed my perspective. It has changed the way I look at things and the way I think of things.

Terus gue nggak pengen nikah cepet? Of course gue mau. Tapi--realistically speaking--gue nggak bisa. Kadang manusia suka lupa: everybody has their own problems, conditions and what not. Dan gue 100% sadar betul kendala apa yang gue miliki sekarang, apa yang menahan gue dari moving forward ke life goals lainnya, seberapa berat kendala itu, dan bagaimana cara gue menyelesaikannya. So, I know that getting married isn't on top of my priority. Well, gue emang nggak tau gimana takdir gue. Gue nggak tau kapan Allah bilang gue siap. Kalo ternyata out of the blue gue nikah sekarang, ya bagus. Jodoh udah dateng, masa gue tolak?. But still, to everybody out there, please stop telling me to get married.
Share:

4/24/2016

Life Update

Due to overflowing request, here I am writing a new blog post. 
This post might offend some.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Sebenernya bulan februari lalu gue ada ide nulis, tapi karena saat itu gue lagi sibuk belajar untuk ujian jadinya pikiran gue agak sedikit terdistraksi. Sekarang pun sebenernya gue lagi nggak menggebu-gebu banget untuk menulis, karena pikiran gue udah agak used up untuk bikin video, kerja, dan sedikit mengembangkan kehidupan sosial gue.
"Kehidupan sosial? I thought you were an introvert and anti-social."

Believe it or not di bulan ini gue udah hangout sama tujuh orang yang baru gue kenal. That's actually one of my 2016 resolutions anyway: meeting new people from different cultures. Satu orang Palestina, satu orang Vietnam, tiga orang Korea, dan dua orang Cina. Gue pertama ketemu sama si Palestina pas gue dateng ke TEDxBerlinSalon. I asked him to take a picture of myself with one of the speakers. Dan di kemudian hari kita berdua ketemuan di cafe sambil ngobrolin tentang negara asalnya. Di TEDxBerlinSalon gue juga ketemu sama si Vietnam. He was the one who scanned my ticket. I later then found out that he never had indonesian food.  So I took him to indonesian restaurant. Kalo si tiga orang Korea yang adalah mahasiswa pertukaran pelajar ketemu gue pas lagi ada syuting Hit Maker di Alexanderplatz. Setelah selesai nontonin syuting kita kelaperan dan makan bareng. Lalu kemaren lusa gue jalan-jalan sendirian ke daerah Teltow untuk ngeliat bunga sakura. Di sana gue kenalan sama dua orang Cina ini yang ternyata anak master di TU Berlin. Bahkan cowo gue pun kaget gue bisa sebegitu-socially active-nya, despite seorang gue yang basically nggak suka sama orang.

Me being more open and approachable nowadays got me thinking, "Why did I even try to be friends with these foreigners in the first place? And why foreigners?". Terus gue dapet pertanyaan di Ask.fm (yes, I am on that stupid social media). Pertanyaannya negatif. Cukup negatif sehingga instead gue jawab, I just blocked it right away, tried to brush it off. Jadi gue nggak ada screenshotnya untuk ngasih liat how stupid the question was. But at least this gave me the answer to my question above.
There are hundreds of things I dislike about hate questions/comments I got. Pertama, Ask.fm aja sebenernya udah nggak banget. I still don't even understand why I signed up. This platform is full of teenagers who don't know that there's a search generator name "Google". Instead of googling themselves, they'll annoyingly ask you questions that they could actually answered in freaking two minutes. Kedua, it makes you become a coward and a bully at the same time. You can approach someone and bash her/him without really telling who you are. If you are a loyal read of this blog, you would probably now I have quite a sharp tounge atau kata orang indo "Omongannya dalem." (walaupun sampe sekarang belom jelas how critical is critical, how unkind is unkind, how arrogant is arrogant, etc). But never in my life I bully someone online without giving a hint of identity. Why? Because it's the most ignorant, idiotic and dumbest thing ever. I'll give you some examples:

This one isn't about me, but my friend. Orang macam apa yang mau capek-capek ngomong begini ke orang yang dia nggak kenal, yang dia temuin di dunia maya, dan yang jelas-jelas nggak ada hubungannya sama dia. Orang macam apa yang ngomong ke cewek lain, "Ternyata lo jelek ya. Gue kira lo cantik.". What a pathetic human being. Why so much hate?


Contoh kedua adalah ini. Si orang tersebut nggak langsung ke page gue, instead dia nge-ask temen gue tapi tetep mention username gue. Can someone help me to understand the level of ignorance these people have? What are they like in the real life? What kind of life do they have actually? And what kind of parents, who raise such a negative child?

Anyways, pertanyaan yang gue dapet tadi sore itu intinya adalah:
"Git, kok gue merasa lo suka kemakan omongan lo sendiri ya. Lo dulu bilang lo nggak suka sama orang-orang bikin vlog. Sekarang lo malah bikin juga. Yaa... Bukannya gue nggak suka nontonin vlog lo, sih. But still. Hheee..."

Yes, she wrote the "Hheeeee". I still dislike the phenomenon of random people who make awful vlogs. And 95% of the vlogs I saw are boring, not interesting. That's why I normally could only watch it for 10 seconds and I eventually didn't watch it at all. Here's the simplest analogy: when suddenly down the road people were opening pizza restaurant and all of them tasted horrible, of course I would make my own pizza. I don't hate the pizza (who in the world would hate pizza, anyway), I hate the pizza they made.
Di sini gue rada serba salah. Kalo gue ngejawab pertanyaan itu, it would trigger other moany teenagers to also saying the same thing dan mungkin gue akan terdengar sedikit jahat karena tentu saja gue akan ngasih the evilest comeback you could ever imagine. And I would probably sound pathetic, because I had to explain and justify myself to this genius random Anon who clearly got lots of free time, why I now also make vlogs on YouTube. Whilst my personal life and the why&becauses behind every decision I made are meant to be private. Makanya gue diem. Dan buat seseorang yang cukup sarkas dan nggak terlalu bisa dealing with stupidity, diam itu bukan emas. Diam itu siksaan. But then again I said to my self, "Git, you're too old to even deal with this.". Dan gue pun suka tersadar mungkin mereka hanya sebatas remaja galau yang kerjanya cuma beli kuota internet buat main hape 24 jam.

Selain buka Ask.fm gue juga suka buka Facebook. Kali ini gue akan sangat amat diam. Gue nggak mau ngelike postingan yang terlalu kontroversial atau gimana. Just because gue nggak mau bikin news feed temen-temen gue jadi kotor dan negatif. Tapi tentu aja orang lain nggak berpikir kayak gitu. Sekarang kan lagi heboh pemilu gubernur tuh. Kalo dia support Ahok, dia bakal terus-terusan ngepost atau ngelike postingan yang muji-muji Ahok. Kalimat andalan? "Mending non-islam tapi bersih daripada islam tapi korupsi." Begitu juga dengan orang yang nggak suka sama Ahok. Kata yang paling sering mereka gunain saat ini pasti sama,  Kafir. Bahkan temen gue yang bukan orang Jakarta, yang pas pemilu presiden nggak milih siapa-siapa, sekarang ikutan hebring jadi Teman Ahok (next time please set your priority straight, mate). Here I am nge-hide-hidein postingan tentang Ahok. I am utterly sick of it, both the pros and cons. Kadang gue suka malu jadi orang Jakarta. Orang di Papua dapet air bersih aja susah, ini kita malah berasa jadi penduduk kota paling penting di Indonesia.

On the other day a friend of mine curhat tentang dia yang capek harus berada di lingkaran pertemanan dia saat ini. Isinya cewek-cewek and all they did were shopping, nongkrong cantik, haha-hihi, ngomongin cowok, etc. Dia juga bilang there were lots of backbiting and stuff. I wasn't surprise, tho. Gue menyarankan dia untuk cari lingkaran yang lain, karena manusia itu ada berjuta-juta dan nggak semuanya suck. I hope she did, karena gue tau gimana frustrating nya berada di situasi kayak gitu (been there done that).

The point I am trying to make is, while I can listen to stories of my new friends, self-reflect and even inspired by them. On the other side of my social bubble, all I got is.... nothing? I find it rather weird.
Nggak semua temen indo gue kayak gitu. There are some cool people in my circle (lagi-lagi harus menjelaskan untuk menghindari komentar pembaca-pembaca yang sensitip dan mudah tersinggung). But....

Ah, I am done explaining. You do get my point.

Share:
Blog Design Created by pipdig