by Gita Savitri Devi

9/30/2018

Some Informations We All Need

APA ITU PELECEHAN SEKSUAL?
Pelecehan seksual adalah perilaku yang berhubungan dengan seks yang tidak diinginkan, yang terjadi secara lisan, tindakan, maupun lewat isyarat.

APA SAJA YANG TERMASUK PELECEHAN SEKSUAL?
- Pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan
- Pemaksaan keinginan seksual yang tidak diinginkan
- Memegang, menyudutkan, bersender kepada seseorang yang tidak diinginkan
- Memandang dan melakukan gesture seksual
- Bercandaan, ejekan, komentar, pertanyaan, pernyataan seksual yang tidak diinginkan
- Bersiul kepada orang lain
- Cat calls
- Komentar seksual terhadap bentuk tubuh, cara berpakaian, maupun penampilan orang lain
- Ekspresi wajah, kedipan mata, throwing kisses atau licking lips
- dsb

PELECEHAN SEKSUAL TERJADI PADA SATU DARI TIGA WANITA DI DUNIA DAN PADA SATU DARI ENAM PRIA. KENAPA DINORMALISASI?
1. Rape culture
2. Victim blaming
3. Kurangnya edukasi menyeluruh akan sexual behaviour dan sexual violence

APA ITU RAPE CULTURE?
Rape culture adalah sebuah lingkungan di mana pemerkosaan dianggap lazim terjadi dan kekerasan seksual dinormalisasi. Rape culture dilakukan dan dibudayakan lewat pemakaian kata-kata misogynist (yang menyudutkan wanita), objektifikasi tubuh wanita, dan glamorisasi terhadap kekerasan seksual di kehidupan sehari-hari maupun di popular culture.

APA SAJA YANG TERMASUK RAPE CULTURE?
- Menyalahkan korban dengan cara meneliti pakaian korban, mental state, motive, dan juga kelakuan korban
- Menyepelekan pelecehan seksual —> „Ahh, namanya juga laki-laki. Nafsu mereka memang lebih tinggi.“
- Menolerir pelecehan seksual
- Mengartikan „kelaki-lakian“ sebagai DOMINASI dan memiliki NAFSU LEBIH TINGGI (sexually aggressive)
- Mengartikan „kewanitaan“ sebagai PENURUT dan tidak lebih agresif secara seksual
- Beranggapan bahwa hanya wanita „nakal“ lah yang bisa dilecehkan
- Mengajarkan wanita supaya tidak dilecehkan dan tidak mengajarkan pria supaya tidak melecehkan

APA ITU VICTIM BLAMING?
Menyalahkan korban yang terkena pelecehan seksual. Seseorang menyalahkan korban karena dia tidak mau tahu dan mau menjauhi diri dari kejadian yang tidak mengenakan. Dengan cara melabeli dan menuding korban, orang tersebut beranggapan dirinya tidak sama dengan korban. Maka dari itu dia merasa akan terhindar dari pelecehan seksual tersebut.

Sikap ini bisa mengenyampingkan korban pelecehan seksual dan membuat mereka makin tidak mau menceritakan dan melaporkan kejadian. Sikap ini juga MEMPERKUAT ALASAN BUATAN SI PELAKU PELECEHAN, „Kejadian ini terjadi karena salah korbannya. She’s asking for it.“. Pelecehan seksual bukan kesalahan korban, tetapi hal tersebut adalah pilihan si pelaku untuk tidak melakukannya! Dan bukan kewajiban korban untuk memperbaiki situasi.

BAGAIMANA CARA SUPAYA BISA MELAWAN RAPE CULTURE DAN VICTIM BLAMING?
- Berpikir dan bersikap kritis terhadap bagaimana lingkungan dan media menggambarkan laki-laki, wanita, relationships, dan kekerasan
- Tidak menggunakan bahasa yang mengobjektifikasi dan menyudutkan korban
- Jika kalian melihat seseorang melakukan bercandaan seksual atau melakukan pelecehan, SPEAK UP!
- Jika seseorang bilang ke kalian bahwa dia dilecehkan, have a conversation with this person and be supportive
- Beri tahu si korban bahwa apa yang terjadi bukan kesalahan dia
- Jangan biarkan si pelaku beralasan konyol terhadap apa yang dia perbuat, seperti menyalahkan korban atau keadaan
- Artikan sendiri „kelaki-lakian“ dan „kewanitaan“, terlepas dari stereotip yang ada
- BE AN ACTIVE BYSTANDER! Karena diam berarti membuat rape culture dan pelecehan seksual terus dianggap lazim di masyarakat.

BAGAIMANA KEADAANNYA DI INDONESIA?
- Menurut CATAHU 2018 Komnas Perlindungan Perempuan, di ranah privat/personal persentasi kekerasan seksual adalah sebesar 31% (2.979 kasus)
- Untuk kekerasan seksual di ranah privat/personal tahun ini, incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, kedua adalah kasus perkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest, sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke polisi, dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%)
- Di tahun ini, CATAHU juga menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah privat/personal adalah pacar sebanyak 1.528 orang, diikuti ayah kandung sebanyak 425 orang, kemudian diperingkat ketiga adalah paman sebanyak 322 orang. Banyaknya pelaku ayah kandung dan paman selaras dengan meningkatnya kasus incest.
- Di ranah publik (pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun perkawinan), kekerasan seksual mencapai angka 76% (2670 kasus), yaitu pencabulan (911 kasus), pelecehan seksual (708 kasus), dan perkosaan (669 kasus)

-------------------------------------------------

Gue terpelatuk oleh direct message salah satu followers gue di Instagram yang berkata bahwa jika seorang wanita mengalami pelecehan seksual, maka dirinya harus introspeksi diri. Lihat lagi cara dia berpakaian dan kenapa dia bisa mengundang laki-laki untuk melecehkan dirinya. Katanya lagi, Islam sudah mengatur bagaimana wanita harus berpakaian agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Wanita harus menutup aurat karena pria memiliki nafsu lebih besar dan aurat wanita bisa memicu hal-hal nggak enak.

Oke, gue setuju kalau Allah SWT mewajibkan umatNya yang wanita untuk menutup aurat. Tapi gue sangat tidak setuju jika alasan menutup aurat adalah untuk menghindari pelecehan. Hi, have you heard of SELF-CONTROL? Setiap manusia dikasih nafsu, tapi juga dikasih akal pikiran. Jangankan nafsu untuk megang-megang atau bahkan memperkosa cewek lain, nafsu makan kebanyakan sampe begah aja harus ditahan. Dan bukan salah si korban kalau si pelaku nggak bisa menahan nafsunya. It's never about the women's clothes. Kenyataannya ada banyak wanita yang udah menutup aurat pakai pakaian syari, tapi tetap kena pelecehan.

Maaf banget, tapi memanfaatkan agama untuk membudayakan rape culture adalah salah satu hal yang paling menjijikan. Yes, it is rape culture if you think the victim is the one responsible for this unfortunate occurance. It is rape culture if you normalize and think sexual harassment is prevalent, because heeyyy boys will be boys, right?!

Gue berharap siapapun dari kalian yang merasa pelecehan seksual adalah tanggung jawab si korban, setelah membaca informasi di atas, kalian tersadar jika kalian sedang berada di bawah pengaruh budaya patriarki dan rape culture yang sangat pekat di masyarakat kita.
Share:

9/24/2018

There is No Place Like Home

Setiap kali gue sedang berada di Indonesia, gue sering dapet pertanyaan apakah gue akan kembali ke Jerman lagi. Jika iya, kenapa dan apakah masih ada urusan yang belum terselesaikan sehingga seorang WNI yang tinggal di luar negeri belum bisa pulang ke tanah airnya. Emangnya nggak kangen sama Indonesia?

Dari banyaknya pertanyaan serupa yang dilontarkan orang-orang, gue bisa kasih konklusi kalau konsep tinggal di luar negeri buat sebagian orang adalah hal yang nggak jelas. I get it. Seorang manusia memang butuh tempat menetap selamanya. Seorang manusia memang butuh tempat yang membuat mereka nyaman dengan segala kefamiliarannya. Dan pada umumnya, tempat yang bisa memberikan kenyamanan adalah tempat lahir kita. 

Hmmm... seperti biasa isi otak gue semacam mengawang-ngawang dan gue nggak tau mana yang harus gue tulis duluan. Let start with the idea of "home".

The reality is, I was actually grasping for the actual meaning of home since 2012, marking my two years of living abroad. Pada awalnya, Indonesia terasa sangat nyaman karena kebiasaan. Lahir dan besar di sana memberikan gue banyak banget orang-orang istimewa dan yang pasti cerita-ceritanya. Tempat-tempat yang sering gue kunjungi, suasananya, bahasanya, makanannya. Indonesia felt so familiar and that's what I called home.

Makin lama gue meninggalkan Indonesia, kefamiliaran itu makin lama pudar. Iya, sih. Bahasa dan makanannya masih sama. Tapi 8 tahun nggak menyaksikan secara konstan perkembangan negara ini, jelas gue ketinggalan banyak hal. Jejeran gedung yang tadinya gue selalu lihat, sekarang udah diganti sama bangunan yang baru yang nggak ada di ingatan gue. Kebiasaan orang-orang lokal yang tadinya gue kenal, sekarang malah gue yang harus menyesuaikan. 

Di sisi lain, Jerman makin terasa seperti guru kesayangan karena di sini lah gue pertama kalinya belajar untuk hidup seorang diri. Negara ini lah yang mengajarkan gue untuk jadi orang yang kuat. Negara ini juga yang mengajarkan gue bagaimana menjadi manusia bermental negara pertama. Dan negara ini juga yang memperlihatkan gue keberagaman agama, ras, dan warna kulit. Di sini lah gue dihadapkan oleh perbedaan dan diajarkan bagaimana menghadapinya. 

More and more I felt Indonesia is not special anymore. Bukan karena gue tidak nyaman dengan sekitarannya, bukan karena gue tidak familiar dengan keadaannya. Gue terlalu familiar dengan orang-orangnya, budayanya, bahasanya. Indonesia terlalu nyaman buat gue, dan membuat gue sulit untuk berkembang

Satu hal yang gue pelajari dari semua ini, ternyata seorang manusia bisa merasa nyaman di tempat yang bukan tanah kelahirannya. Ternyata definisi rumah hanyalah ada-adaan sebagian orang yang agak khawatir meninggalkan zona nyamannya.
I found my inner peace in Germany, despite all of the inconvenience this country has constantly given me.

Isu nasionalitas adalah salah satu yang sering diangkat ke permukaan. Tinggal di luar Indonesia nggak semerta-merta membuat gue hilang kepedulian terhadapnya. Gue nggak setuju jika berada di sana adalah satu-satunya cara mengekspresikan rasa cinta kita terhadap Indonesia. Karena banyak sekali para diaspora yang setiap harinya diisi dengan kegiatan positif dan mengharumkan nama bangsa. Sedangkan ada banyak juga yang tinggal di Indonesia tapi kerjanya hanya menyusahkan negara. Merusak fasilitas umum, menyuap polisi, korupsi, buang sampah nggak pada tempatnya, nggak membudayakan antre, dan lain sebagainya.

See? You can love your country however you want. You can in fact make your country proud wherever you are. Karena di manapun kita berada, selama yang kita lakukan berdampak positif untuk sekitar, negara juga bangga kok.

Will I ever live in Indonesia forever? Mungkin. Mungkin juga tidak, karena belum terpikirkan oleh gue untuk menetap selamanya di suatu negara. Ahh.. The classic "setelah kuliah harus bekerja dan menetap" banget nggak sih? 

Buat gue, mau di Indonesia, Jerman, Korea Selatan, Amerika Serikat, di manapun gue berada asalkan gue mendapatkan kesempatan untuk menantang diri gue. Asalkan gue bisa tetap proaktif berkontribusi untuk kemaslahatan anak manusia. Nggak jadi masalah. I live to experience, not to settle down. But maybe if I am old and tired of growing, I will.

But seriously, guys. The whole idea of home, work, settle down, build a family, etc are so confusing to me.  

Why does someone have to stay in their hometown? Why does someone has to have a 9 to 5 job? Why does someone have to settle once she has a family? 

Why does life has to be so conventional? Nobody said it has to be. Ya, kan?
 
Share:
Blog Design Created by pipdig