by Gita Savitri Devi

12/28/2015

The World of The Von Trapps

If you've ever watched The Sound of Music, you'd probably know the Von Trapp family. Setelah kali ketiga nonton, gue baru sadar kalo filmnya cheesy banget. Lagi sedih, nyanyi. Lagi takut, nyanyi. Lagi seneng, nyanyi. Lagi khawatir, nyanyi. Iya lah nyanyi terus, wong itu film musical. But you do get my point. Ada satu hal yang nggak cheesy : lokasi syutingnya. Liburan natal kali ini gue pun memutuskan untuk kabur ke Salzburg untuk ketemuan sama sahabat gue.

As you know, I'm a sucker for nature. Kalo ditanya lebih suka pantai atau gunung, udah pasti gue jawab gunung. There's something about it yang bikin gue bisa ngeliatin doang ampe lama. Sesuatu yang gede banget dikasih liat di depan mata lo. Apalagi kalo musim dingin gunungnya jadi abu-abu putih mistis gimana gitu. Plus kalo maen ke gunung gue nggak usah capek-capek bersihin kaki gue yang kotor gara-gara pasir. Why Salzburg? Hanya karena gue pingin ngeliat pegunungan Alpen lagi. Udah tiga kali gue nyamperin pegunungan ini, but I never get enough. Ternyata kota Salzburgnya sendiri cukup bagus. Gue akuin vibe natal dan dekorasinya lebih oke daripada di Berlin. Kotanya pun lebih tua, lebih klasik. Ternyata untuk di Salzburgnya sendiri satu hari juga udah cukup. Nggak banyak yang bisa diliat, nggak yang bikin wow gimana gitu (kecuali Untersberg. Man, I love that place). Tapi kalo lo keluar dikit dari Salzburg, lo akan disuguhin sama pemandangan yang warbyaza.

So here's a glimpse of my journey in Austria :
































Share:

12/27/2015

Blue Sky Collapse

Tadinya malem ini gue mau tidur cepet, tapi gue inget hari ini Dimas, Dika, dan Mateus siaran jam 10 malem. Hari ini temanya cerita hantu. Biasa lah mereka suka random, tapi gue dengerin aja. Sekalian nemenin gue makan malem nasi pake telor dadar.

Terus tiba-tiba yang diputer lagu Blue Sky Collapse nya Adhitia Sofyan. Nice.

Tiba-tiba gue galau. Nggak galauin siapa-siapa, asli deh. Lebih ke ngegalauin apa. Sewaktu lagu ini gue dengerin, gue sembari flashback ke masa lalu, masa di kala gue masih remaja belasan tahun. Dengerin lagu Adhitia Sofyan yang gue download secara gratis di website si Adhit sendiri, karena gue waktu itu ngikutin Raditya Dika yang lagi proses bikin film dan Adelaide Sky dipilih untuk jadi original soundtrack Kambing Jantan. Singkat cerita, lagu-lagu dia jadi salah satu lagu yang paling sering gue setel di iTunes. Lagu-lagu doi nemenin countless sleepless nights yang berlalu hanya karena gue lagi into internetan banget sampe nggak rela kalo waktu internetan gue dipake buat tidur. What did I do? Ngeblog dan blog walking. Blog walking, kata yang udah lama banget nggak gue denger. I remember scrolling through Casseybunn's blog and other blogs yang randomly gue temuin malem itu. Semaleman gue baca blog orang. Iya, isi blog orang lain masih seseru itu sampe bikin gue tidur pagi. Mereka se-freely itu cerita apapun di blog. Semuanya hanya kata-kata. Satu sampai dua foto mungkin disisipin di postingan biar nggak terlalu bosen. I loved reading their stories and I loved writing mine, too. Selain buka tab blogger, gue suka sekalian buka Deviantart. Iseng-iseng scrolling pagenya poopart dan dottydotcom. Gue suka ngelike-likein foto-fotonya poopart karena temanya warna-warni kayak popart (Iyalah, nama akunnya aja poopart. Duh.). But dottydotcom was my favorite, because I adore her bright and colorful yet calming photos. Satu lagi, gue suka juga buka Friendster. Duh, iya Friendster. Website ini udah nggak ada lagi ya sekarang? Padahal seru banget. Lebih seru dari Instagram, Facebook, sama Path. Kapan lagi lo minta orang lain buat ngisi kolom Testimonial lo? Kapan lagi juga lo bisa ngedekor sendiri profile lo pake tulisan glitter? Mungkin saat itu Facebook udah ada, tapi dulu gue nggak ngerti cara maen Facebook. Konsep ngasih gifts lucu yang bisa keliatan di sidebar profile kita masih sulit gue pahami sampe sekarang.

YouTubers yang dulu selalu gue tontonin videonya, yang bikin gue terpingkal-pingkal dengan jokes bule recehnya mereka, udah nggak pernah upload video lagi. Penyanyi-penyanyi amatir yang suaranya bagus itu juga udah jarang banget ngecover lagu lagi. Sekarang YouTube isinya makeup tutorial plus vlog manusia modern yang ingin mencoba eksis di dunia maya, padahal yang nontonin vlognya mereka juga nggak ada. Blogger juga udah sepi. Anak-anak hipster angkatan awal udah pada nggak ngeblog lagi kayaknya. Udah pada ilang entah kemana. Walaupun gue suka nggak paham, tapi gue suka aja baca tulisan mereka yang sengaja dibikin misterius ala-ala pujangga dengan gaya bahasa yang tersirat bikin penasaran itu. Sementara gue masih menulis blog seperti 6 tahun lalu. Kayaknya gue nggak mau give up sesuatu yang mengikat gue dengan masa lalu. Sama seperti gue sulit banget untuk ngebuang baju-baju lama atau barang-barang yang udah nggak terpakai. Iya, sesulit itu gue untuk move on.

Semakin gue tua gue sepertinya semakin sensitif. Buktinya tiap kali gue nonton atau denger hal-hal dari jaman dulu, gue jadi mendadak melankolis kaya sekarang. Kayaknya gue nggak terlalu suka sama masa sekarang dan kenyataan kalau gue nggak bisa balik ke masa lalu bikin gue jadi sedih. Jaman dulu semua kayaknya tentram banget. Everything was meaningful. Everyone was genuine. Sekarang semuanya nggak berarti. Lagu-lagu udah nggak asik lagi untuk didengerin. Nggak bisa lagi nemenin gue menjalani sewaktu tempo, sehingga gue bisa inget terus sama momen tersebut setiap kali gue denger lagunya. Kebersamaan udah nggak indah lagi, karena sekarang manusianya terlalu sibuk selfie bareng biar bisa diupload di Path dan Instagram. Maybe it's just me, but I feel everything has changed completely. Apa mungkin karena gue semakin bertambah tua, maka hidup jadi bertambah sulit? Apa mungkin karena gue semakin dewasa, maka gue jadi makin serius sehingga gue nggak bisa menemukan momen-momen indah yang gue dapetin di masa lalu? Atau mungkin pikiran gue udah terlalu carut marut, sehingga nggak mau lagi dipenuh-penuhin sama lagu apapun?

Dunia juga sekarang dipenuhi dengan orang-orang baru. Manusia kayaknya sekarang makin banyak sampe gue nggak kenal lagi muka-mukanya. Jakarta dulu berasa sempit, karena orang yang muncul dipermukaan ya dia-dia doang. Orang-orang lama pada kemana ya? Mungkin udah pada punya dunia masing-masing kali ya. Mungkin ini yang namanya regenerasi. Yang lama-lama udah pada pensiun, digantiin sama yang baru.

Tapi masalahnya yang baru kurang asik, kurang seru.

I just downloaded Adhithia Sofyan's full album. Songs that I used to listen to six years ago. Kayaknya untuk beberapa hari ini gue akan dengerin lagu-lagu ini terus sambil mengenang masa lalu.

Still everyday I think about you
I know for a fact that's not your problem
But if you change your mind you'll find me
Hanging on to the place
Where the big blue sky collapse
Share:

12/05/2015

You've Got A Friend

Orang-orang bilang masa-masa SMA adalah masa paling indah. Gue setuju banget. Masa di mana kita nggak ada beban hidup. Drama kita hanya sebatas perseteruan sepele antar teman, drama naksir-naksiran kakak kelas, berantem-berantem labil cinta monyet. Tiap hari ke sekolah bukan pingin belajar, tapi pingin ketemu orang-orangnya. Pergi ke sekolah bukan pengen nuntut ilmu, tapi pingin main capsa di kursi belakang. It was the best time of my life

Di sana gue nemuin beberapa orang terbaik yang pernah gue temuin yang sampe sekarang jadi temen terdekat gue. If I heard the word "best friend", I'll definitely think of them. Dulu mungkin gue merasa pertemanan gue dengan orang-orang ini biasa aja layaknya pertemanan setiap orang dengan kawan baiknya. Setelah jauh dari mereka gue baru sadar kalo pertemanan dengan mereka adalah sesuatu yang patut gue apresiasi setiap detik. Gue nggak tau segimana annoying dan high tempered nya gue dulu sampai gue beranjak dewasa. Gue nggak sadar segimana egois dan lebay nya gue dulu sampai gue menginjak umur 20, ninggalin masa remaja. Apalagi kalau kami udah cerita-cerita tentang jaman dulu dan mengingat-ngingat tingkah laku gue dulu tuh rasanya nggak percaya aja gue bisa se-nggak banget itu jadi orang. Bukan perubahan pada diri gue yang ingin gue bangga-banggain di sini. Despite kenggakbangetan gue tersebut, orang-orang ini mau stay sama gue. Itu yang bikin gue bersyukur sampai sekarang. Gue nggak pernah sekali pun denger dari mereka tercetus suatu kalimat yang memojokan gue, yang mengolok-ngolok sifat gue saat itu, yang complain akan ke kanak-kanakan dan keegoisan gue saat itu sampai sekarang. I'm grateful and proud at the same time. Gue bangga punya temen-temen yang ngerti betul apa itu pertemanan dan bersyukur karena gue bisa ada di hidup mereka, bisa nyicipin baiknya mereka.

Pernah nggak sih lo berada di suatu situasi di mana lo ngerasa nyaman banget. Nggak terpikir di benak lo untuk mengubah diri lo, memilah-milah kata-kata lo, dan menutupi keburukan lo, karena lo tau mereka nggak akan mengeluh tentang sifat lo, tentang perkataan lo, tentang diri lo. That's how I feel whenever I'm around them. Gue bisa cerita apapun, menumpahkan segala keluh kesah gue tanpa khawatir apakah gue udah terlalu banyak ngomong, terlalu rempong ngehadepin masalah, terlalu panikan. Karena gue tau mereka akan selalu mendengarkan dengan senang hati. Di deket mereka gue bisa jadi diri gue sendiri, bodo amat sama apa yang gue lakuin, karena gue tau mereka nerima gue apa adanya. Pun ada yang mereka nggak suka di diri gue, they'll tell me in a good way as a good friend and for my own good. Itu yang gue pelajari bertahun-tahun di masa remaja gue sampai sekarang. That's a kind of friendship I know, menerima teman baik lo apa adanya, selalu suportif, saling mendukung satu sama lain, saling nasehatin satu sama lain, dan selalu ada kapan pun, di situasi apapun. As simple as that.

Sampai akhirnya gue pindah ke Jerman. Gue masuk lingkungan baru, dengan muka-muka baru, ketemu sama personality baru. It hits me so hard, because some people here (those who I considered as good friends) have different understanding and different opinion on friendship. Di Jakarta dulu gue nggak pernah discanning dari atas sampe bawah sama sahabat gue (that's not what best friends do, right?), nggak pernah diliatin makeup apa yang gue pake, nggak pernah disaingin karena lebih ini dan lebih itu, nggak pernah diliat secara permukaan. But these people do. Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa ngafe-ngafe gaul dan jalan bareng tiap minggu, once lo udah jarang ketemu, you go back to square one. Pertemanan lo renggang. So it's like quantity over quality? Buat mereka pertemanan adalah ketika lo bisa seneng-seneng sama orang ini, tapi ketika orang ini lagi di masa sulit, mereka nggak memberi moral support or even time. Buat mereka pertemanan adalah ketika orang ini bertingkah laku dan bersifat sesuai apa yang mereka mau. In other word, they don't accept you as who you are. Iya, selama berteman sama mereka gue harus selalu menutupi sifat asli gue, gue harus bertingkah bodoh dan goofy supaya bisa bikin mereka ketawa, gue harus berusaha keep up supaya mereka selalu menerima gue, dan gue selalu complain ke diri gue, "What are you doing, Git?!". Hanya supaya gue bisa diterima, gue rela usaha segitunya. Why did I do that?

Karena gue tau gue bukan orang yang menyenangkan, gue bukan cewek yang suka diajak jalan tiap minggu ngafe-ngafe buang-buang uang, gue bukan cewek rempong, gue bukan cewek yang suka haha-hihi sleepover nggak jelas, gue bukan cewek yang suka selfie-selfie pas lagi nongkrong bareng, gue bukan cewek yang suka ootd bareng. I am not that kind of person. Menutupi sifat gue yang dingin, yang serius, yang butuh waktu sendiri, yang lebih mengedepankan quantity over quality, yang lebih melihat esensi, yang selalu punya strong view dan perspective, yang kaku, yang pemikir, yang nggak tau caranya bersenang-senang, adalah hal yang sulit. Terlalu sulit, at least buat gue. Dan gue rela ngelakuin itu semua supaya gue bisa diterima. Supaya diri gue yang bersudut ini bisa muat ke lingkaran mereka. I struggled so much selama gue di Jerman. I keep blaming myself, "Kenapa lo nggak bisa play along well in this society?". Dan satu hal lagi, gue benci sama persaingan. Tapi di sini hawa rivalry terlalu kuat, even for the smallest thing. Gue masih inget gimana gue selalu diolok-olok karena gue selalu dapet likes over 100 di Instagram, padahal foto yang gue upload juga nggak jelas. I smell strong sense of envy there, like really strong. Semua hal itu membuat kesulitan yang gue rasain jadi makin sulit rasanya. Semua pet peeves gue, semua hal yang dari dulu selalu jadi yang paling gue benci, dateng ke gue tiap hari, gue lihat tiap hari, gue temuin tiap hari. Rasanya kayak lo melihat orang di depan lo selalu KKN, padahal lo adalah orang yang idealis. Setidakmenyenangkan itu.

Gue masih inget gimana waktu gue sakit dulu, orang-orang yang gue anggap dekat malah nggak jenguk gue. Selama 44 hari di isolasi, mereka cuma jenguk gue sekali. They have know idea gimana stressnya gue dulu terkapar di rumah sakit nggak bisa kuliah sampe-sampe gue harus mundur satu semester. They didn't even care. Kalo mau huznudzon mungkin mereka sibuk nggak ada waktu. Tapi mereka nggak jenguk lagi karena mereka takut ketularan. Yep, I'm still trying my best to think positive here. Gue juga masih inget waktu gue lagi stress banget sama kuliah yang nyebabin sekujur punggung gue eksim semua. Saat itu selama sebulan gue cuma tidur 1-3 jam dan gue masih harus ngurusin acara mereka. Kita waktu itu jadi panitia suatu acara. At first I said no, karena gue tau gua akan sibuk. But she kept asking me to help her. Gue pikir, "Yaudahlah temen gue lagi minta dibantu masa gue nggak bantuin?". They didn't even care how I was back then even when I already told them my situation. All they cared about was me doing the job done. Ketika gue bener-bener nggak bisa nge-handle job desk gue, gue malah didepak dari kepanitian karena takut atmosfernya jadi kacau gara-gara gue. Gue masih inget betul gimana gue ngerasa disampahinnya saat itu, disampahin sama temen gue sendiri. Gimana marahnya dan nggak percayanya gue sama apa yang udah dilakuin sama mereka. Gue juga masih inget gimana setengah matinya gue mencoba untuk menahan amarah gue, tapi gue takut akan mendapat judgment yang lebih buruk lagi. Dan gue akan selalu inget gimana kecewanya gue sama mereka yang juga ninggalin gue, bersama dengan orang-orang yang menyudutkan gue ketika gue perlahan-lahan mengubah diri gue. And I don't wanna be my old self again, who couldn't hold anger. Akhirnya gue minta maaf, minta maaf, dan minta maaf. Tiga kali gue minta maaf, tapi itu semua tetep nggak bisa nge-restore friendship gue sama mereka. Mereka nggak mau ketemu gue lagi, mereka menghindar. We're now strangers again.

Berbulan-bulan ini semua membebani otak gue yang kecil ini. Berbulan-bulan gue simpan kekecewaan gue. They don't know how hard I've tried to be a person they like, to be a friend they wanna have. Berbulan-bulan gue menyayangkan mereka yang nggak ngerti arti pertemanan, they who don't have pure heart, yang sebenernya ada apa-apa ke gue tapi act like nothing happened di depan orang lain, bahkan di depan cowo gue. Berbulan-bulan gue kesel ke diri gue sendiri, kenapa gue nggak bisa menerima mereka yang seperti itu? kenapa nggak gue yang mencoba mengerti mereka?, dan berbulan-bulan juga gue mempertanyakan ke diri gue "Kenapa gue harus marah?".

Salah satu teman gue kemudian mengingatkan gue sama satu cerita tentang sahabat yang hidup di jaman Rasulullah:

Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat.
Dahulu di tempat itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalaam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Shahabatnya radhiallaahu 'anhum. Di sana Beliau SAW memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.

Suatu ketika, saat Rasulullah SAW memberikan taushiyyahnya, tiba-tiba Beliau SAW berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga.". Para Shahabat r.hum pun saling bertatapan. Di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiqradhiallaahu 'anhu, Utsman bin Affanradhiallaahu 'anhu, Umar bin Khattabradhiallaahu 'anhu, dan beberapa Shahabat lainnya.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana. Pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.

Di kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW berkumpul dengan para Shahabatnya, Beliau SAW pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga.". Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Shahabat yang berkumpul pun terheran-heran, siapa dengan pemuda sederhana itu?

Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah SAW mengatakan hal yang serupa, bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Shahabat, Mu'adz bin Jabbalradhiallaahu 'anhupun merasa penasaran amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?

Maka Mu'adzradhiallaahu'anhu berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.

Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh. Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.

Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut. Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha.

Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan Rasulullah SAW. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau SAW menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu, "Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga. Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul SAW menyebutmu sebagai ahli surga?"

"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud.
Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha.
Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah.
Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."

"Amalan apakah itu?"

"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."

"Subhanallah. Kemudian apa?"

"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."

"Subhanallah, lalu kemudian?"

"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun. Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus."

"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga. Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."

Mungkin gue butuh waktu. Gue butuh waktu lama buat maafin mereka, just because I don't have that huge of imaan in me. But what I know is, if I forgive them, I do it for Allah, not for them.
Adalah Rasulullah saw pernah berkata kepada Ali ra, "Hai Ali, tahukah kamu laki-laki yg mendahului kamu masuk surga?" Jawab Ali, "Allah dan Rasululnya lebih tahu," Rasulullah melanjutkan, "Si Fulan..." (maaf, lupa nama sahabat yg dimaksud) Ali heran krn laki-laki yg dimaksud, dr segi ibadah pd zamannya biasa-biasa saja. Tapi krn Rasulullah telah menyebut 'si Fulan' maka Ali ra ingin tahu, gerangan amalan apakah yg dilakukannya sehingga dia termasuk ahli syurga. Ali ra datang bertandang ke rumah yg bersangkutan dan minta izin bermalam tiga malam (aturan bertamu, jangan lama-lama he he he...). Ternyata, dlm tiga malam itu, Ali ra tidak melihat 'si Fulan' shalat tahajud atau membaca alquran, dst... Akhirnya Ali ra penasaran dan menceritakan pernyataan Rasulullah SAW. si Fulan pun heran dan kemudian berkata: "Mungkin perbuatan ini, tapi masa iya...saya selalu memaafkan orang yg secara sadar atau tidak menyakiti saya setiap malam sebelum saya tidur..."

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/danangarmady.kompassiana.com/indahnya-memberi-dan-meminta-maaf_55087c6ba33311b96d2e3942
Share:

6/17/2015

A Thousand Words

Mungkin ada beribu kata di otak gue sekarang. Nggak tau mana yang harus gue tulis duluan dan mana yang mesti gue simpan rapat-rapat. Gue sekarang lagi banyak pikiran. Pikiran-pikiran ini udah lalu-lalang di kepala gue berbulan-bulan dan makin lama gue makin nggak nyaman. Karena gue nggak tau gue harus cerita mulai dari mana, gue kasih tau aja dulu efek sampingnya ke diri gue. Gue jadi makin males kenal sama orang. Manusia itu egois, jahat, tega, palsu. Gue nggak bilang semua manusia itu palsu, tapi 80% dari manusia yang gue temuin mukanya dua, bahkan tiga. People are so fake and I hate people. I know "hate" is a strong word and I choose to use it. I hate people.

Gue nggak tau apakah gue harus menyalahkan diri gue, karena memilih untuk menunjukkan image yang unapproachable, unfriendly, dan dingin setiap kali gue berinteraksi sama orang-orang yang gue kenal. That's just how I choose to show. Faktanya sifat-sifat itu bukan sifat gue yang sebenernya. I know that, my parents know that, my closest friends know that, my sister and my boyfriend know that, too. Atau apakah gue harus menyalahkan diri gue yang faktanya adalah seorang introvert? Who doesn't like small talks and only like real conversation, who intensively values the few friends I have, who's perfectly comfortable being on my own and who craves a sincere connection? Does that make me look unapproachable? not friendly? not cool? Does that mean I hate people? Does that mean I hate you? No, smarty-pants, no. But I will hate you if you talk behind my back as if you were an expert in Gita-Area. Gue tau gimana bertahun-tahun gue selalu menunjukkan seakan-akan gue adalah orang yang suka marah-marah dan galak. The fact is, orang lain ternyata sama kayak gue. Sama-sama punya batas sabar, sama-sama bisa marah. They can also be annoyed. Bedanya adalah gue selalu bilang kalo gue dibikin kesel, sementara mereka cuma bisa menggerutu di kepala mereka sendiri atau lebih parah, menggerutu di belakang. Can't you just accept the fact that everyone is different?

I hate people, because they easily judge me for no reason. Oh, wait. Maybe because they realize they are just madesu humanbeings and I am more awesome than them. Am I right? What? You call it narcissism? I call it fact. Terkadang suka dateng hate comments ditujukan ke Ask.fm gue dan obviously si pengirim nggak ngasih identitas. Ada yang bilang gue terlalu belagu lah makanya gue dijauhin sama temen-temen di Jerman. Dude, do your research first. Mungkin karena gue nggak pernah foto-foto sama temen-temen gue di Jerman kali ya? Mungkin juga karena gue nggak pernah upload foto gue bareng-bareng temen gue di Path atau Instagram? Ada juga yang bilang gue sok alim, sok bijak, sok apapun. Dear Anon, let's be friends and you will see my true color. Kalo lo cuma suka hura-hura dan cuma suka ngomongin yang nggak penting, indeed lo emang nggak bakal ngerasa cocok sama gue. Because I don't like hura-hura, ketawa-ketiwi nggak ada juntrungan. Karena itu cuma ngebuang-buang waktu gue doang.

And there came another gossip (kayaknya gue hits banget ya di Berlin? Orang-orang pada ngomongin hidup gue mulu soalnya). Banyak orang (you see there? banyak) menganggap gue memaksa Paul untuk pindah agama. Kenapa? Soalnya mereka liat perubahan gue yang sekarang kayaknya religius banget dan bahkan gue sekarang udah pake kerudung. "Eh gue denger-denger Paul pindah agama? Pasti dipaksa deh sama si Gita! Doi kan sekarang kayak yang islam-islam banget gitu. Terus lo tau kan si Paul yang kalem-kalem nurut doang, sementara Gita orangnya galak." Let me tell you, para manusia-manusia, go get a life. Kalo Paul pindah agama, itu gara-gara gue? Kalo Paul sekarang finally bisa make akal-pikiran dia dan figured out this whole religion thing, itu gara-gara gue juga? Mentang-mentang lo ngeliat gue galak, terus lo pikir gue tiap hari marah-marahin dan maksa-maksa Paul buat pindah agama gitu? Is is rude to ask how low your IQ is? Pernah nggak kalian mikir efek apa yang bisa kalian kasih ke orang yang kalian ghibahin ini? Pernah? Apa orang yang lo anggep galak ini, yang lo anggep suka marah-marah ini, nggak punya hati, nggak bisa tersinggung, dan nggak bisa sedih ngedenger omongan lo? Terus sekarang lo officially udah bikin gue bener-bener speechless, marah besar, kecewa besar, sedih, semua perasaan campur aduk. Sekarang apa yang lo rasain? Seneng kah? Puas kah? Gembira kah akhirnya bisa bikin gue tersinggung? What does it make you feel? I know what these all make me feel. I feel like I cannot even trust anyone anymore. I am utterly disgusted by how you literally greeted me whenever we met, how you smiled at me, but you actually talked real bad about me, my life and even my boyfriend. Well, you know what? I'm done knowing you. You should be ashamed of yourself. You came all the way from Indonesia to Germany, tapi nggak satu pun dari diri lo yang berubah jadi baik. Apa lo nggak ada rasa malu? If you are really really really curious about this, why don't you just ask me? I am pretty sure you have my Facebook or even my WhatsApp. Daripada berlagak kayak detektif dan bikin deduction konyol?

Pastinya beberapa dari manusia-manusia ini laporan lah ke Indonesia. Apalagi sih emang yang bakal mereka lakuin selain ini? Too obvious. What is now the aftereffect? The worst you can imagine. Of course it affects Paul, it affects me and my life. It affects us MENTALLY. Do you have any thoughts in mind how I'm feeling right now? I'm feeling no freedom. I have to watch out my mouth, use my social media very carefully, and of course I'm feeling imprisoned in my own life, which is pathetic. I can't really do anything right now, soalnya kalo-kalo gue salah bertindak, gue bisa terjebak sendiri, bisa diserang lagi. You know how haters can alway find your mistake and point their fingers at you again? Gue curhat ke Paul, "Aku sebenernya marah banget, marahh banget. Seandainya ini terjadi sewaktu aku belom berubah. Aku yakin udah aku samperin setiap orang yang ngomongin dan yang ngaduin.". Pada kenyataannya gue nggak ngapa-ngapain. Gue cuma diem aja. Well, gue curhat di Blog sih. At least gue nggak nyebut nama siapa-siapa aja orang ini. Gue merasa itu nggak akan menyelesaikan masalah, bahkan malah memperburuk suasana. Karena kalau mereka beneran gue samperin, cerita tentang gue maksa-maksa yang mereka buat itu seakan-akan beneran. Soalnya gue marah-marah ke mereka. Logika mereka adalah "Ya kalo itu nggak bener, ngapain lo marah?". Sigh... Bless you and your family. I can't curse and I won't.

I feel somehow lonely, because I know I'm gonna go through this alone. But I have to look at the positive side although it's so hard. Kayaknya ini adalah cobaan yang dikasih buat gue dan Paul. Kami udah hijrah, sekarang saatnya kami diuji supaya kami bisa jadi orang-orang mukmin. It feels like we've lost any hope, but Allah promises us that hardship comes with ease and the help of Allah is near. Paul, I know you won't read this. But I just wanna tell you that we can go through this. You are strong and your strength makes me stronger. You've showed me how brave you are. Words can't explain how proud I am of you. Maybe people say you're weak. But I know they have no idea. The road of Allah is surely not easy. We are now going through the hardest time of our lives yet. It's hard, but it's worth it. I feel somehow special and thankful, because He's now giving us chance to be better individuals. We've come so far, we've changed a lot from that to this. We've changed our path. We just need to keep reminding ourselves that with the first step in Jannah we will forget it all. Allah sees all. He sees all.




Share:

5/03/2015

Masa-Masa Ini Datang Juga

Assalamualaikum temen-temen semua,

alhamdulillah hari ini cuaca di Berlin bagus banget. Nggak terlalu dingin, nggak terlalu panas. Yang lebih penting hari ini gue sehat wal'afiat.

Okay, dikarenakan gue udah umur 23 tahun pasti lah pikiran gue udah kemana-mana. It doesn't mean that I cannot focus on the present. Gue suka mikirin randomly anak gue mau gue kasih makan apa, gue kasih susu apa (knowing that food industry itu jahat banget), harus sekolah dimana, dan gimana cara gue mengasuh dia nanti. Terus kapan gitu gue ngobrol-ngobrol sama temen gue tentang dimana harus nyekolahin anak. Doi bilang pas jaman dia dulu sekolah katolik sih yang paling bagus. At least di sana beneran diterapin kedisplinan dan nggak asal sekolah. Guru-gurunya juga capable. Kata nyokap sih gitu juga, karena doi ngerasain sendiri dulu di SMP dan SMA. Terus gue juga ngobrol sama temen gue yang lain dan dia udah punya anak yang sekarang masih kecil. Dia dan suaminya udah berdiskusi. Kata dia kalo dia di Indonesia pinginnya masukin anaknya ke pesantren. Yang menarik adalah ketika gue ngobrol sebelumnya sama temen lain, mereka bilang kalo anak-anak ditaro di pesantren itu malah jadi radikal. (Iya, jaman sekarang kalo lo lulusan pesantren lo dianggap radikal. Kalo lo santai sama agama lo dianggap moderat alias normal). Nah, berhubung gue kenal banyak orang yang lulusan pesantren dan sekarang mereka malah pemahaman agamanya bagus gue agak membela alumni pesantren haha. Balik lagi ke ngobrol ke temen gue yang udah punya anak ini. Akhirnya kita ngobrol-ngobrol lebih lanjut tentang apa yang paling penting sebenernya. Kalo dari sisi gue, gue nggak mau nyekolahin anak gue di sekolah internasional ataupun swasta-swasta yang anaknya tajir-tajir. Dari gue TK gue disekolahin di sekolah negeri. Sampe kuliah pun gue di universitas negeri. Bahkan waktu gue SD dulu sekolah gue di samping pasar. Temen-temen gue rumahnya di gang-gang. Orang tuanya cuma jadi tukang jahit, tukang jualan di pasar, tukang ojek, dan semacamnya. Masa-masa SD itu yang malah gue kangenin banget loh sekarang. Gue kangen banget maen di kampung bareng anak-anak kampung. Kemana-mana jalan kaki nyusurin gang, nggak pernah ngomongin Play Station atau Tamagochi. Yang diomongin cuma maen galasin pas istirahat. Makanya pas gue SMP gue sempet culture shock ngeliat orang-orang dari SD Bhakti sama Al-Azhar  tajir-tajir banget hahaha. Gue juga kayaknya kurang setuju sama home schooling. Temen gue yang ini juga gitu sih kayaknya. Dan ternyata yang terpenting tetep peran orang tua. Misalnya anak tiba-tiba dimasukin ke pesantren tanpa lebih dulu dicicipin atmosfer agama di rumah, jelas anaknya pasti kaget dan jatohnya malah jadi bandel. Tapi kalo di rumah udah diajarin dengan baik gue rasa nggak akan ada masalah. Terus masalah apa anaknya akan jadi borju atau nggak, itu juga tugas orang tua. Menurut gue kalo anak kita kenalin sama gadget dan barang-barang yang cukup mahal akan membuat anak jadi terbiasa sama hal yang kayak gitu. Mereka malah akan nggak terbiasa dalam keadaan nggak berada. Ujung-ujungnya anak jadi nggak kreatif. Tau kan dulu jaman orang tua kita. Kalo mereka mau main mereka main sama temen-temennya dan jadiin apapun sebagai mainan, kreatif. Kaya dulu gue nggak punya banyak boneka. Akhirnya gue bikin boneka sendiri pake kertas. Atasnya kertas digunting-gunting biar jadi rambut, terus dikeritingin pake penggaris. I don't know, gue suka sedih aja kalo ngeliat anak kecil sekarang baru umur 2 tahun udah bisa nge-tap screen iPad atau iPhone. Intinya kita harus bener-bener mikirin gimana caranya untuk membentuk mental anak supaya nggak konsumtif dan borjuis. Supaya mereka sadar kalau cari uang itu nggak gampang, banyak banget-banget orang yang cuma bisa makan nasi aking, dan supaya mereka menghargai uang.

Jadi orang tua itu ternyata sulit banget (gue baru mikirin aja udah pusing). Jelas lo mau yang terbaik untuk anak lo. Sebisa mungkin sekolahin di sekolah terbaik di kota lo, dikasih makan makanan yang full of nutrition, dikasih fasilitas yang bisa mendukung tumbuh-kembang anak lo. Tapi kadang kayaknya orang tua juga suka lupa untuk mendidik anak di rumah. Gue pernah ngobrol gitu sama cowo gue. Gue sama dia setuju kalau anak kita nanti mesti dididik bener-bener. Dituntun, dikasih tau mana yang bener dan mana yang salah tapi nggak menggurui. Dikasih pemahaman kali ya biar lebih ideal. Terus gue kan parnoan ya sama dunia jaman sekarang yang gilanya udah luar biasa. Gue bilang ke doi kalo kita berempat (gue pengen punya dua anak insha Allah) tiap jum'at ada tarbiyah di rumah, biar anak gue punya karakter,  prinsip, pendirian, dan ngerti jelas mana hitam mana putih. Ngaji bareng-bareng, diskusi bareng-bareng. Pilih temanya jelas harus yang sesuai sama umur anak-anak gue nanti.

Masa-masa ini dateng juga ya akhirnya. Gue jadi seneng liat anak kecil, gue jadi pengen juga kalo ngeliat temen nikah, gue udah mikirin anak gue segala. Gue pikir gue bakal jadi orang yang pursuing career banget gitu, taunya pengen jadi ibu hahaha. Ah nggak ada salahnya kan ya? Ibu kan pekerjaan yang paling mulia. Paling sulit, tapi pahalanya paling banyak. Apalagi kalo ngejalaninnya dengan ikhlas.Well, liat ntar kapan jodoh gue datang. Semoga yang ini yang terbaik, tinggal dihalalkan aja. Terserah yang di atas aja gimana.

Udah ah nanti gue jadi melankolis lagi. Daah!
Share:

2/10/2015

The Definiton of Success

Judulnya rada serius ya?


Mari kita flashback ke bulan Desember 2014. Jadi pas akhir bulan gue jadi tukang foto untuk acara Wintercamp yang diadakan oleh IWKZ e.V. Jadilah gue selalu ada disetiap acara. Pas peserta makan gue motoin, peserta lagi olahraga pagi gue motoin. Peserta lagi ada game-gamean di luar gue motoin. Akibatnya di foto-foto Wintercamp nggak ada muka gue huhu. Singkat cerita waktu itu lagi sesi seminar gitu deh. Gue lupa seminarnya tentang apa, yang pasti membicarakan tentang kesuksesan dunia yang berbarengan dengan sukses akhirat. Menarik kok temanya. Nah terus si pembicara nanya ke satu peserta tentang rencana dia di 5, 10, dan 20 tahun kedepan. Ternyata itu peserta udah punya clear vision tentang apa aja yang mau dia lakuin dan semuanya in detail. Terlalu detail bahkan sampe gue mikir, "Ni anak belom tau pahitnya kehidupan apa gimana sih? Nggak realistis banget kayak jawaban anak SD.". Tapi jawaban dia buat gue mikir. Iya, gue mikirin ginian dari bulan Desember sampe sekarang which is udah Februari. Seneng amat gue mikir? Jangankan mikirin sukses, lama waktu gue tiduran sampe terlelap pun bisa lebih dari rata-rata (7 menit) cuma gara-gara gue penasaran akan proses awalnya orang sadar terus akhirnya bisa tidur. Karena otak gue gue suruh mikir, gue pun nggak tidur-tidur deh. Akhirnya gue menyerah, lalu gue pun tertidur. Enough with that.

So anyways, gara-gara dengerin jawaban si peserta ini gue jadi tersadar kalo gue sama sekali ngga ada rencana apapun bahkan untuk 5 tahun kedepan. Rencana gue terlalu short term gitu deh kayaknya, gue cuma pingin lulus kuliah dulu. Itu yang paling fixed. Mau ngambil master di bidang apa dan di mana sih udah kepikiran juga, tapi siapa tau gue labil terus gue ganti jurusan lagi. Terus gue bertanya lagi sama diri gue, kenapa gue bisa setenang ini mengarungi hidup tanpa ada rencana A atau B? Gue jawab sendiri lah pertanyaan gue, karena gue percaya rencana Allah jauh lebih keren daripada rencana gue. Prinsip hidup gue adalah kerja sekeras-kerasnya, usaha sebesar-besarnya, dan berdoa sebanyak-banyaknya. Bodo amat mau hasilnya kayak apa, gue yakin hasilnya pasti manis. Udah terlalu sering rencana yang gue buat nggak pernah berjalan, tau-taunya di tuntun ke jalan yang lebih mantep dan lebih seru. Alhamdulillah banget kan?
Terus ada beberapa hal lagi yang gue sadari. Ternyata inti dari sukses bukanlah skill melainkan kepercayaan diri. Nggak percaya? Coba liat artis-artis Indonesia yang sekarang main di layar lebar. Nggak semuanya bisa acting. Tapi mereka sukses-sukses aja. Coba liat penyanyi-penyanyi yang lagi naik daun sekarang. Emang pada jago nyanyi kayak Raisa? Nggak semuanya. Liat presiden kita sekarang. Emang dia bisa mimpin? Hmm.. Itu no comment. Ehm jadi ngomongin presiden. Kecuali kalo lo mau berkarir dibidang teknologi dan ilmu pengetahuan kayaknya nggak bisa lo cuma punya bekal pede segudung. Lo juga harus punya skill. Fenomena ini gue liat sendiri di lingkungan gue. Gue punya temen yang pedenya bukan main. Dia nggak bisa nyanyi, tapi dia self proclaim kalo dia bisa. Dia nggak ada skill ngomong di depan, tapi dia pede buat maju under the spotlight. Not bad sih, tapi gue cuma surprise aja. Karena gue itu termasuk orang yang kepercayaan dirinya nol, yang selalu ngerasa gue nggak ada apa-apanya karena ada ribuan orang yang lebih jago dari gue. Gue nggak pernah ngerasa jago nyanyi, karena ada buaaanyak banget orang yang lebih bagus dari gue yang lebih pantes di sorot. Nggak jarang gue ngerasa overrated. Orang-orang pada ngetweet atau ngomen di SoundCloud bilang suara gue asik, tapi gue suka ngerasa nggak deserve pujian itu. Nah, gue merasa orang yang berhak pede itu adalah orang yang emang mampu dan emang jago. Ternyata nggak juga.
Padahal sekarang semua orang bisa sukses, eksis, dan ngartis. Lo mau di endorse-endorse dan sukses jadi artis Instagram? Sering aja posting foto selfie atau #ootd lo. Pingin eksis di internet? Sering-sering aja nge-blog atau bikin akun Ask FM. Gampang. So, kenapa harus ngerasa nggak pede?

Baru sekarang sih gue ngerasa sangat-sangat menyesal menjadi orang yang minderan. Because I've wasted my talent to be honest. Ada sedikit potensi dalam diri gue buat jadi penyanyi, karena gue suka musik (but I don't take it seriously, or not yet) dan juga jadi graphic designer (cause I loved drawing, but I stopped.). Tapi sekarang gue malah konsen 100% ke kuliah gue yang entah akan kayak gimana akhirnya. Apakah nanti gue beneran bakal jadi scientist atau gue jadi orang yang bergerak di bidang entertainment dengan latar belakang science. Orang-orang yang gue tau dulu nggak jago, sekarang udah pada keren-keren hasil karyanya. Yang dulu main musiknya biasa aja, sekarang udah keren. Kenapa bisa gitu? Soalnya mereka pede, coy. Dari self-proclaimed jago, lama-lama mereka jago beneran soalnya mereka nggak berhenti.

Kalo udah nyampe di pertanyaan ini, rasa-rasanya gue nggak mau berdebat lagi. I think I got the answers :
  1. Balik ke prinsip awal. Kerja sekeras-kerasnya, usaha sebesar-besarnya, dan berdoa sebanyak-banyaknya
  2. Kalo ada kesempatan ambil aja nggak usah pake mikir apakah kita mampu atau nggak
 Gue masih yakin gue bisa sukses. Gue masih yakin gue dan Paul bisa jadi such an awesome collaboration. Dia jadi dokter, gue jadi ilmuwan. Dia main piano dan nyanyi, gue main drum dan nyanyi juga (macam Phil Collins). Dia suka bisnis, gue suka art. Senin sampai jum'at Paul praktek dan gue di-lab. Sabtu-minggu kita drowning ourselves in our creativity making music and stuffs. Kalo ampe itu beneran tercapai gue udah berasa jadi Hannah Montana. I got the best of both worlds gitu, ya nggak sih. Mumpung bermimpi itu gratis. I'll be chillin' here with my chemistry books, cause I know I gotta be fine.

I think that's all I wanna share. Buat yang lagi ngerasa pesimis, mari semangat! Lo nggak ada alasan untuk merasa putus asa. Jalan dan harapan itu ada asalkan kita berusaha (beeeeuuhh...). Optimis boleh, tapi jangan terlalu ambisius biar masih tau gimana caranya ikhlas. Pede boleh, tapi jangan kepedean. Okeh? 

Over and out!
Share:
Blog Design Created by pipdig