by Gita Savitri Devi

5/19/2016

Life is Not A Race

Lo tau gue sekarang lagi di mana? Gue sekarang lagi di Pausenraum a.k.a ruang istirahat laboratorium kimia anorganik kampus gue. Kenapa gue bukannya ke lab, tapi malah nulis blog? Soalnya eksperimen gue mesti dipanasin sampe jam 6 sore dan nggak bisa gue tinggal pulang. Karena dengan bodohnya gue nggak bawa headset, gue jadi nggak bisa nonton YouTube. The only thing I can do right now is writing blog.

So here I am.

Sekitar seminggu yang lalu gue ke Sate Siomay atau disingkat SASO. SASO ini adalah acaranya anak IWKZ yang bertujuan untuk ngumpulin dana buat bikin mesjid sendiri, karena basically tempat yang sekarang berfungsi sebagai mesjid nggak cukup besar buat ngelakuin kegiatan-kegiatan keagamaan. Nggak di Indonesia, nggak di Jerman, bikin mesjid itu lagi-lagi sulit. Lagi-lagi mesti minta sumbangan sama orang, lagi-lagi lama terealisasinya. Dulu gue pernah denger cerita Paul tentang orang-orang tajir di GBI Jakarta yang bisa provide finansial sampe harga mikrofon worship leadernya aja berpuluh-puluh juta. Wie schön.
Sebenernya bukan itu yang pengen gue omongin. Yang menarik adalah gue ketemu anak S3 domisili Dortmund yang lagi main ke Berlin. Umurnya kalo nggak salah 27 tahun dan kita ngobrol-ngobrol dikit lah. Lalu sampailah dia pada pertanyaan "Umur lo emang berapa, Git?". "Gue 24 tahun", jawab gue. "Sekarang lagi S2?", dia tanya lagi. "Nggak, gue masih S1.", jawab gue sembari quickly jump ahead to their point and processing my adequate level of response. That's typical INTJ by the way. 
Anyways, sampe mana kita tadi? Ah, iya. I was like, "This question again. The same explanation again. I am bored.". Gue pun memilih respon yang singkat, nggak panjang-panjang. Buat apa juga panjang-panjang. Then I said, "Kuliahnya susah."

...

Beberapa minggu belakangan ini gue banyak ngeliat foto temen SMA gue nikahan. Kebetulan sekarang emang lagi saatnya anak 90, 91, 92, dan 93 buat naik pelaminan. Dan temen-temen gue rata-rata anak 91. Terus temen gue yang di sini juga ada beberapa yang--entah bercanda atau serius--nyuruh-nyuruh gue buat nikah. Not once, but to the point that it annoyed me so much.

This whole thing got me thinking, apakah poin dari kita hidup adalah untuk cepet-cepetan ngelakuin sesuatu? Kenapa juga kita mesti cepet-cepetan ngelakuin sesuatu? Cepet-cepetan achieve sesuatu? Dan kenapa kita harus ngikutin pattern yang udah ada, yang udah dilakuin sama orang-orang sebelum kita? I am 24 now. Apakah gue seharusnya sudah lulus kuliah? Apakah seharusnya sekarang gue udah jadi orang kantoran? Apakah sekarang seharusnya gue udah sibuk ngurusin vendor buat nikahan? Terus salah kalo gue belom ngelakuin semua hal tersebut? Salah kalo gue masih berurusan dengan perkuliahan S1 gue? Salah kalo gue belom jadi orang kantoran, walaupun gaji gue lebih besar dari orang kantoran di Jakarta? Ngomong-ngomong, siapa sih yang awalnya mengharuskan begini dan begitu seorang individu? Siapa sih yang awalnya ngebuat sistem ini?

I was that kind of person, who planned everything from A to Z. Who said, "Umur 21 tahun gue udah lulus kuliah, terus gue bisa dapet kerja. Abis itu gue nikah and so on.". After learning that what you want isn't necessarily what you'll get in a hard way, I now know that life isn't a race with everybody else. Life is a place to learn and eventually you will gain something, achieve something. But the whole point of living is to learn. Seseorang pernah nanya ke gue, jika gue bisa muter-balikin waktu apakah gue mau memilih jalan yang lain, which is nggak ke Jerman dan hidup gue pun akan berjalan "tepat waktu". My answer was a no and still a no and will always be a no. Karena gue tau betapa banyak pelajaran yang gue dapet di sini, yang bikin gue bisa kayak sekarang. Dan karena gue tau gimana nggak bangetnya mental gue kalau gue memilih untuk stay di Indonesia. Let's say me living in Germany has changed my perspective. It has changed the way I look at things and the way I think of things.

Terus gue nggak pengen nikah cepet? Of course gue mau. Tapi--realistically speaking--gue nggak bisa. Kadang manusia suka lupa: everybody has their own problems, conditions and what not. Dan gue 100% sadar betul kendala apa yang gue miliki sekarang, apa yang menahan gue dari moving forward ke life goals lainnya, seberapa berat kendala itu, dan bagaimana cara gue menyelesaikannya. So, I know that getting married isn't on top of my priority. Well, gue emang nggak tau gimana takdir gue. Gue nggak tau kapan Allah bilang gue siap. Kalo ternyata out of the blue gue nikah sekarang, ya bagus. Jodoh udah dateng, masa gue tolak?. But still, to everybody out there, please stop telling me to get married.
Share:
Blog Design Created by pipdig